
BRIN yakin teknologi remote sensing bisa bermanfaat, termasuk digunakan untuk kepentingan ibdustri sawit nasional. (Foto: dok. BRIN)
Di masa depan penginderaan jauh atau remote sensing menjadi alternatif.
MAU tahu tentang berbagai potensi masalah yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit? Ternyata teknologi remote sensing atau penginderaan jarak jauh bisa digunakan untuk itu.
Misalnya soal mencari tahu titik koordinat guna menentukan apakah perkebunan kelapa sawit ada di dalam kawasan hutan atau tidak.
Atau, teknologi itu digunakan untuk mengidentifikasi hot spot atau titik api untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan lainnya.
Ide pemanfataan teknologi remote sensing tersebut diungkapkan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, di Gedung BJ Habibie, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Berbagai pihak menghadiri kegiatan tersebut, termasuk dihadiri oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Donny Ermawan Taufanto.
"Ruang antariksa menjadi salah satu peluang alternatif dalam meningkatkan perekonomian Indonesia," kata Handoko seperti dikutip, Rabu (12/6) pagi.
Ia mengatakan, saat ini yang sudah berkembang adalah pemanfaatan ruang antariksa untuk industri telekomunikasi.
Di masa depan, sambung Handoko, penginderaan jauh atau remote sensing menjadi alternatif.
“Remote sensing itu basisnya adalah citra data yang diambil dari satelit yang kita olah, dan itu yang bisa menjadi produk yang dijual kepada pengguna," ujarnya.
"Misalnya bagaimana bisa mengamati perkebunan sawit, melihat kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan mengukur sawah yang akan panen,” kata Handoko menambahkan.
Ironisnya, kata dia, sampai saat ini kebutuhan akan data citra satelit Indonesia masih membeli dari pihak lain dengan harga mencapai Rp 475 miliar tiap tahun.
Karena itu Handoko menilai terobosan untuk investasi membuat satelit, termasuk untuk kepentingan industri sawit nasional, sangat dimungkinkan.
“Lebih baik Rp 475 miliar itu untuk investasi bangun satelit, lalu produknya berupa data bisa dijual," ucap Handoko.
"Jadi sebenarnya secara finansial tidak terlalu muluk-muluk, yang dibutuhkan minimal enam satelit remote sensing yang kombinasi berbasis optik dan juga berbasis radar,” kata Handoko mengakhiri.