https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Petani

Dituding Penyebab Banjir, APKASINDO Sumut: Perkebunan Sawit Justru Mengalami Kerusakan Serius

Dituding Penyebab Banjir, APKASINDO Sumut: Perkebunan Sawit Justru Mengalami Kerusakan Serius

Ketua APKASINDO Sumut, Gus Dalhari Harahap. Foto: Dok Elaeis

Medan, myelaeis.com – Setiap banjir datang, kelapa sawit seolah selalu jadi tersangka utama. Narasi lama itu kembali menguat setelah banjir besar melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara (Sumut).

Namun Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Sumut menilai tudingan tersebut keliru dan menutup persoalan yang lebih mendasar. Menurut APKASINDO, sawit kembali dijadikan tumbal, sementara masalah utama di wilayah hulu justru luput dari sorotan.

Ketua APKASINDO Sumut, Gus Dalhari Harahap, menyebut tuduhan bahwa sawit menjadi penyebab banjir tidak didukung fakta lapangan. Ia menegaskan, dalam peristiwa banjir kali ini, perkebunan sawit justru mengalami kerusakan serius.

“Kalau dibilang sawit penyebab banjir, itu tidak masuk akal. Sawit justru ikut jadi korban banjir besar ini,” kata Gus Dalhari, kemarin. 

Ia menjelaskan, banjir bandang yang terjadi membawa material kayu gelondongan dari kawasan hulu dengan ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut (mdpl). 

Sementara itu, kebun sawit umumnya berada di dataran rendah, sekitar 80–100 mdpl. Perbedaan kontur ini, menurutnya, menunjukkan dengan jelas bahwa sumber material banjir bukan berasal dari kebun sawit.

“Tidak ada sawit di dataran tinggi. Pohon sawit itu terhempas dari bawah karena terjangan air. Akarnya tercabut, bukan ditebang,” ujarnya.

Gus Dalhari juga menepis anggapan bahwa kayu-kayu yang hanyut merupakan hasil pembukaan kebun sawit. 

Ia menyebut kayu tebangan bisa dikenali dari bekas gergaji dan penandaan tertentu. Sementara dalam banjir terakhir, banyak kayu yang ditemukan berasal dari kawasan hulu dan merupakan kayu alami.

Menurutnya, sawit kerap menjadi sasaran empuk dalam setiap kondisi cuaca ekstrem. Saat kemarau, sawit dituding rakus air dan merusak keseimbangan lingkungan. Namun ketika hujan ekstrem memicu banjir, sawit kembali disalahkan karena dianggap tak mampu menyerap air.

“Ini sudah jadi pola. Saat panas disalahkan, saat banjir juga disalahkan. Padahal yang paling penting sekarang adalah penanganan bencana, dan itu justru lambat,” tegasnya.

APKASINDO Sumut menilai akar persoalan terletak pada lemahnya tata kelola kawasan hutan di wilayah hulu. Tumpukan kayu yang terbawa arus banjir dianggap sebagai sinyal kuat adanya masalah serius dalam manajemen kehutanan.

“Ini tanggung jawab pengelolaan kehutanan. Kalau hulunya dikelola dengan baik, tidak akan terjadi banjir separah ini,” kata Gus Dalhari.

Ia juga mengkritik wacana penghutanan kembali lahan sawit yang kerap muncul setiap kali bencana terjadi. 

Menurutnya, pemerintah harus melihat sejarah secara utuh sebelum menggiring opini publik. Gus Dalhari mengingatkan bahwa perkebunan sawit di Sumatera Timur sudah ada sejak 1911, jauh sebelum Indonesia merdeka.

“Jangan dibalik seolah-olah sawit yang masuk ke hutan. Masyarakat sudah berkebun jauh sebelum negara ini berdiri. Jangan semua kesalahan dibebankan ke petani sawit,” ujarnya.

Dari sisi ekonomi, dampak banjir dinilai sangat memukul petani. Produksi sawit rakyat turun hingga 20–30 persen akibat kebun tergenang dan akses panen terputus. Di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, hingga Langkat, banyak kebun terisolasi berhari-hari.

“Bahkan Garoga di Tapsel, yang tidak punya sawit, justru mengalami kerusakan paling parah,” ungkapnya.

Gus Dalhari menambahkan, banjir kali ini tergolong ekstrem dan belum pernah terjadi sebelumnya. Curah hujan tinggi selama hampir sepekan membuat genangan meluas hingga pusat pemerintahan di Medan, termasuk rumah dinas gubernur dan sejumlah pejabat.

“Ini bencana besar yang dampaknya dirasakan semua pihak. Jangan lagi cari kambing hitam. Negara harus berani membenahi persoalan hulu secara serius, bukan terus mengorbankan sawit,” pungkasnya.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS