https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Disorot, Skema Denda Administratif dalam PP 45/2025

Disorot, Skema Denda Administratif dalam PP 45/2025

Ilustrasi pekerja sawit. Foto: astra-agro.co.id

Jakarta, myelaeis.com – Kebijakan penertiban kawasan hutan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 mulai memantik gelombang kekhawatiran. 

Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) resmi menagih denda administratif fantastis senilai Rp38,6 triliun kepada 71 perusahaan kelapa sawit dan tambang yang dinilai beroperasi tanpa izin di kawasan hutan. Angkanya besar, dampaknya disebut bisa jauh lebih besar lagi.

Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM) menjadi salah satu pihak yang paling lantang mengkritisi penerapan aturan ini. 

Dalam kajian terbarunya, lembaga tersebut memperingatkan bahwa skema denda administratif dalam PP 45/2025 berpotensi mengguncang industri sawit nasional, bahkan mengancam jutaan lapangan kerja.

Sorotan utama mengarah pada tarif denda Rp25 juta per hektare per tahun yang diterapkan secara retroaktif. Artinya, denda dihitung mundur sejak kebun mulai beroperasi. Skema ini dinilai bisa menjadi “palu godam” bagi perusahaan yang sudah puluhan tahun menjalankan usaha.

Direktur PUSTAKA ALAM, Muhamad Zainal Arifin, menyebut beban denda yang muncul bisa jauh melampaui nilai ekonomi kebun itu sendiri. 

“Untuk kebun yang sudah berumur 20 tahun, kewajiban dendanya bisa mencapai Rp375 juta per hektare. Ini tidak masuk akal karena nilainya lebih dari empat kali lipat harga pasar kebun sawit, yang rata-rata hanya Rp50 sampai Rp100 juta per hektare,” ujarnya di Jakarta.

Menurut PUSTAKA ALAM, penerapan denda seperti ini berisiko mendorong perusahaan ke jurang kesulitan keuangan. Dari kajian terhadap 429 perusahaan sawit, diperkirakan 235 perusahaan atau sekitar 55 persen berpotensi mengalami tekanan finansial serius akibat besaran denda yang diwajibkan. Sisanya, sekitar 45 persen atau 194 perusahaan, diprediksi masih mampu bertahan karena luasan areal yang dikenai denda relatif lebih kecil.

Tak hanya soal angka, aspek hukum PP 45/2025 juga ikut disorot. PUSTAKA ALAM menilai regulasi ini telah mengubah basis perhitungan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Selain itu, penerapan sanksi yang berlaku surut dinilai bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.

“Dalam banyak kasus, HGU yang sah seharusnya tidak dikenakan denda. Karena itu, verifikasi lapangan harus dilakukan secara cermat agar tidak terjadi kesalahan penetapan areal dan besaran kewajiban,” kata Zainal.

Dampak sosial menjadi alarm berikutnya. Industri kelapa sawit dikenal sebagai salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, dari buruh kebun, pekerja pabrik, hingga sektor pendukung di daerah. 

PUSTAKA ALAM memperkirakan kebijakan denda administratif ini berpotensi memengaruhi mata pencaharian sekitar 1,5 juta hingga 3 juta pekerja, tergantung pada luas kebun yang terdampak dan kemampuan perusahaan bertahan.

Angka itu bukan sekadar statistik. Di baliknya ada keluarga, desa, dan denyut ekonomi daerah yang menggantungkan hidup pada sawit. Jika perusahaan kolaps atau memangkas operasional akibat tekanan denda, efek dominonya bisa menjalar ke mana-mana.

PUSTAKA ALAM menegaskan, penertiban kawasan hutan memang penting. Namun, prosesnya harus menjunjung prinsip keadilan dan kepastian hukum. 

Lembaga ini mendorong agar Satgas PKH membuka ruang keberatan dan upaya hukum bagi perusahaan, serta memastikan transparansi dalam perhitungan denda dan verifikasi areal.

Di tengah upaya negara menata hutan dan menegakkan aturan, PP 45/2025 kini berdiri di persimpangan. 

Apakah menjadi instrumen penertiban yang adil, atau justru berubah menjadi badai yang menyapu industri dan jutaan lapangan kerja, waktu yang akan menjawab.***
 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS