https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Banjir Kayu di Sumatera: Saatnya Mengakui Akar Masalah dan Mengambil Langkah Berani di Hulu

Banjir Kayu di Sumatera: Saatnya Mengakui Akar Masalah dan Mengambil Langkah Berani di Hulu

Ilustrasi AI oleh penulis

Oleh Dimas H. Pamungkas*)

BANJIR bandang yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh pada 25–29 November 2025 lalu terjadi setelah hujan ekstrem dengan curah lebih dari 300 mm dalam 1–2 hari mengguyur kawasan tersebut.

Hujan ini dipicu oleh siklon Senyar yang menekan wilayah pantai barat Sumatera Utara dan Sumatera Barat, serta siklon Koto yang mempengaruhi pantai timur Aceh dan Sumatera Utara.

Di setiap lokasi, pola yang muncul sama: tumpukan kayu gelondongan berukuran besar melaju bersama arus deras, menghantam rumah warga, jembatan, dan fasilitas publik, sebelum akhirnya terbawa hingga ke laut.

Pemandangan ini bukan sekadar tragedi yang mengiris hati, melainkan alarm keras bahwa kita sedang menyaksikan kegagalan besar dalam menjaga dan melindungi kawasan hulu.

Bencana ini tidak berdiri sendiri; ia merupakan akumulasi panjang dari pembiaran, lemahnya pengawasan, dan hilangnya benteng ekologis yang seharusnya melindungi masyarakat hilir.

Di tengah hiruk-pikuk opini publik yang kerap menyalahkan sawit, tambang hingga berbagai kegiatan usaha lainnya, ada satu fakta sederhana namun krusial: “banjir kayu” mustahil terjadi tanpa kerusakan besar-besaran di wilayah hulu.

Pohon-pohon besar yang seharusnya menjadi penyangga tata air di hulu telah ditebang dan menghilang dari tempatnya, meninggalkan ruang kosong yang tidak lagi mampu menahan limpasan air.

Lebih ironis lagi, kayu gelondongan yang hanyut itu jelas secara fisik berasal dari pohon di hutan yang telah ditebang, bukan dari pohon di perkebunan sawit.

Secara ekologis, menurut para ahli agronomi, salah satunya oleh Hardjowigeno & Widiatmaka (1999), kelapa sawit tidak cocok tumbuh di kawasan hulu yang berada pada ketinggian tinggi dengan suhu lebih rendah.

Lebih lanjut sejumlah ahli menyebutkan sawit layak ditanam hanya di bawah ketinggian 400 mdpl. Sebab selain tidak tumbuh optimal, produktivitasnya pun akan sangat jauh di bawah standar S3. Akibatnya, usaha perkebunan sawit di lahan dataran tinggi berdampak negatif bagi sawit itu sendiri.

Itu sebabnya, sawit justru berkembang optimal di daerah hilir aliran sungai dan dataran rendah. Artinya, sumber masalah banjir kayu ini jelas berada di hulu—di area yang seharusnya menjadi kawasan lindung dan hutan primer—namun selama bertahun-tahun dilanda pembalakan, baik yang ilegal maupun “legal” tetapi tanpa pengawasan memadai.

Hulu rusak, hilir menanggung akibat

Kerusakan hulu bukan hanya persoalan ekologis; ia adalah persoalan tata kelola negara. Selama puluhan tahun, aktivitas illegal logging, perambahan, dan pembukaan kawasan hutan berlangsung tanpa kontrol ketat.

Di sisi lain, negara memberikan izin pemanfaatan hutan namun tidak disertai dengan kapasitas pengawasan yang memadai.

Akibatnya, ketika hulu kehilangan vegetasi andalannya, daya serap dan penahan air menurun drastis. Hujan deras yang mengguyur kawasan hulu akan berubah menjadi arus permukaan yang membawa apa pun yang ada di permukaan tanah di hutan—galian tanah, bongkahan batu, hingga kayu gelondongan—meluncur deras masuk ke aliran sungai dan akhirnya meluap, dan akhirnya menerjang permukiman penduduk.

Itulah yang kita saksikan dalam banjir Sumatera: bencana ekologis yang lahir dari kegagalan tata kelola, bukan sekadar fenomena alam.

Reboisasi bukan lagi pilihan, tetapi keharusan

Indonesia pernah memiliki program reboisasi yang ambisius, namun implementasinya sering kali seremonial dan tidak betul-betul mengembalikan fungsi ekologis hutan.

Bahkan menurut Prof. Sudarsono, Guru Besar Kehutanan IPB, kinerja reboisasi mendekati nol, alias minim implementasi. Pelaksanaan yang ada cenderung lambat, membuat banyak lahan terlanjur mengalami degradasi.

Akibatnya, yang tumbuh bukan pohon berkayu, tetapi ilalang dan semak belukar yang tidak mampu memulihkan kondisi hulu secara ekologis.

Ada beberapa langkah penting yang dapat dilakukan di sektor hulu DAS:

Pemerintah perlu mulai melakukan reboisasi massif kembali di lahan belukar dan bekas hutan primer, terutama di kawasan hulu DAS. Reboisasi bukan sekadar menanam bibit, tetapi memastikan pohon tumbuh, dipupuk, dirawat, dan dipantau secara berkelanjutan.

Pemerintah perlu menginisiasi “Gerakan Tanam 1 Miliar Pohon” yang benar-benar terukur. Transparansi progres, penggunaan teknologi monitoring, dan evaluasi berkala harus menjadi bagian dari kebijakan, bukan sekadar slogan.

Pemerintah mengintegrasikan peran masyarakat lokal sebagai penjaga hutan (forest guardian). Masyarakat di sekitar kawasan hulu memegang peran paling vital dalam keberlanjutan program rehabilitasi.

Reboisasi adalah investasi jangka panjang. Tanpa itu, hujan ekstrem yang berpotensi terulang kembali dapat memicu banjir bandang yang lebih besar karena minimnya vegetasi di hulu yang mampu memperlambat laju limpasan air.

Dampaknya bukan hanya mengulangi tragedi yang sama, tetapi bisa jauh lebih besar dari yang kita alami saat ini, dengan kerugian sosial-ekonomi yang meningkat.

Moratorium izin kehutanan: menginjak rem darurat

Kerusakan di hulu dan dataran tinggi tidak hanya disebabkan oleh aktivitas ilegal, tetapi berpotensi disebabkan juga oleh izin-izin pemanfaatan hutan yang dilegalkan namun dikeluarkan tanpa pertimbangan kapasitas pengawasan.

Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah berikut:

Menyelidiki total izin-izin pemanfaatan hutan yang telah diberikan di kawasan hutan terutama di hulu dan dataran tinggi.

Audit menyeluruh semua izin tersebut, termasuk kepatuhan pada kewajiban rehabilitasi dan perlindungan kawasan lindung yang sudah ditetapkan.
Reformasi sistem perizinan kehutanan, agar pengawasan menjadi syarat utama sebelum izin diberikan.

Penegakan hukum tidak boleh kompromi

Illegal logging tetap eksis karena dua hal: keuntungan besar dan risiko kecil. Selama pelaku merasa aman, kerusakan akan terus terjadi. Maka negara harus bersikap tegas:

Memberlakukan hukuman maksimal bagi pelaku perusakan hutan.
Membangun sistem pengawasan berbasis satelit dengan tools AI untuk pemantauan real-time. Ditambahkan pemanfaatan drone untuk spot checking.
Menerapkan penutupan akses pasar dan naming and shaming bagi pihak yang terlibat dalam aliran kayu ilegal.
Tanpa penegakan hukum yang kuat, reboisasi tidak akan pernah mengejar kecepatan perusakan hulu.
Memperbaiki fokus kebijakan: hulu, bukan hilir

Memang benar, bencana kali ini dipicu oleh curah hujan yang sangat besar—lebih dari 200 mm dalam satu hari—yang mengguyur permukaan bumi dengan ratusan juta kubik air.

Di sejumlah daerah aliran sungai, debit air melonjak hingga lebih dari 1.000 meter kubik per detik. Dalam kondisi seperti itu, hutan yang lebat sekalipun tidak akan mampu menahan derasnya limpasan air hujan, apalagi hutan yang telah rusak fungsi ekologisnya.

Namun kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan cuaca yang tidak dapat kita kendalikan. Justru yang perlu ditinjau secara jujur adalah bagaimana tata kelola hutan selama ini berjalan, dan sejauh mana pemerintah, cq. kementerian kehutanan, mengupayakan perbaikan kawasan hulu.

Ironisnya, kini energi besar pemerintah lebih banyak dihabiskan untuk mengurusi sawit yang diklaim dalam kawasan hutan yang justru berada di dataran rendah, sementara kerusakan sesungguhnya yang memicu banjir kayu justru berasal dari hutan yang telah rusak di dataran tinggi kawasan hulu.

Sudah saatnya pemerintah meninjau kembali fokusnya. Apakah tetap bertindak menjadi hakim di dataran rendah atau berfokus memperbaiki kondisi di hulu DAS yang telah rusak, yang tidak ada sawitnya itu?

Tentu saja langkah selanjutnya berada di tangan pemerintah sepenuhnya. Namun, masyarakat berhak menuntut jawaban, karena yang hanyut bukan hanya kayu, tetapi juga masa depan ruang hidup rakyat kita.-

*)Peneliti Kebijakan Publik Nasional

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS