https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

POPSI Tuntut Reformasi Kebijakan PKH Lebih Adil dan Transparan

POPSI Tuntut Reformasi Kebijakan PKH Lebih Adil dan Transparan

Ketua Umum POPSI, Mansuetus Darto. Foto; indonews.id

Jakarta, kabarsawit.com - Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) turut menyoroti terkait dengan upaya penegakan hukum melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang menagih kewajiban denda administratif mencapai puluhan triliun rupiah kepada 71 perusahaan sawit dan pertambangan. 

POPSI menilai terdapat sejumlah tantangan mendasar yang perlu diperbaiki agar kebijakan berjalan adil bagi semua pemangku kepentingan, terutama petani sawit rakyat dan industry kelapa sawit. 

Sebanyak 71 perusahaan yang didenda tadi, terdapat 49 diantaranya adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan diwajibkan membayar denda dengan total Rp. 9,4 Triliun. Upaya ini merupakan langkah penegakan hukum atas pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin. 

Ketua Umum Popsi, Mansuetus Darto dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (13/12), mengatakan  akar persoalan konflik lahan adalah ketidakpastian tapal batas kawasan hutan yang selama ini digunakan pemerintah. 

Banyak area yang ditetapkan sebagai kawasan hutan tidak pernah diverifikasi langsung di lapangan, sehingga peta administrasi sering tidak sesuai dengan kondisi agraria nyata. 

"Secara akademis, ketidakakuratan batas kawasan melemahkan legitimasi kebijakan ruang dan meningkatkan konflik. Karena itu, POPSI mendesak Satgas PKH untuk melakukan verifikasi lapangan partisipatif serta membuka dialog dengan petani dan pemangku kepentingan industri sawit," terangnya 

Lanjutnya, terdapat sejumlah masalah dalam penertiban kawasan hutan. Pertama, penentuan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di tingkat kabupaten. Bahkan tidak ada verifikasi langsung di lapangan. 

Selanjutnya kedua, penetapan RTRW sering dilakukan secara top-down juga oleh daerah. Keputusan tata ruang sering tidak mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan agraria masyarakat lokal. 

"Perencanaan ruang yang tidak partisipatif berpotensi menimbulkan konflik ruang berkepanjangan. POPSI meminta pemerintah membuka ruang dialog formal antara pusat, daerah, kota/kabupaten, dan petani sawit, sehingga RTRW mencerminkan realitas lapangan dan menjamin keadilan ruang. Sehingga masalah di pemerintah pusat dan juga masalah di level pemerintah daerah di masa lalu tidak berdampak pada pemangku kepentingan kelapa sawit termasuk petani," paparnya.

Kendati begitu, POPSI memahami bahwa denda administratif adalah bentuk penegakan hukum. Namun POPSI menolak penerapan denda yang otoriter dan tidak mempertimbangkan kemampuan bayar perusahaan.

"Jika perusahaan sawit bangkrut, maka petani plasma dan petani swadaya yang memasok buah ke pabrik akan menjadi korban pertama. Secara prinsip hukum administratif, penegakan sanksi harus memperhatikan asas proporsionalitas dan restorative justice. POPSI meminta agar Satgas PKH menerapkan skema term of payment yang negosiable sesuai kondisi perusahaan," jelasnya lagi.

Dari kacamata Popsi, banyak persoalan bermula dari kebijakan penetapan kawasan hutan yang dilakukan tanpa verifikasi memadai dan tanpa mempertimbangkan keberadaan pemukiman, usaha rakyat, dan kebun sawit yang telah berjalan puluhan tahun. 

Menurutnya  perlu ada evaluasi dan pertanggungjawaban administratif terhadap pejabat yang menerbitkan penetapan kawasan hutan secara tidak akurat. Sebab keputusan tersebut menjadi sumber utama sengketa saat ini.

"Kita tegas mendukung penegakan hukum yang berkeadilan, namun juga menekankan pentingnya reformasi tata kelola kawasan hutan secara transparan, ilmiah, dan partisipatif. 

Untuk itu POPSI mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa penertiban kawasan hutan membawa manfaat ekologis sekaligus menjaga keberlanjutan ekonomi petani sawit," tandasnya.***
 

 

 

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS