Berita > Ragam
Ini Penjelasan Pakar UGM untuk Menjawab Pertanyaan "Benarkah Pohon Sawit Tak Bisa Menyerap Air?"
Genangan air banjir di perkebunan kelapa sawit. Foto: Ist
Jakarta, myelaeis.com - Salah satu isu yang paling sering muncul adalah anggapan bahwa pohon sawit tidak mampu menyerap air, termasuk ketika Pulau Sumatera dilanda banjir dan longsor.
Menurut penjelasan resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), persoalan banjir di Sumatra lebih kompleks dari sekadar keberadaan sawit. Penataan kawasan yang lemah serta pengalihfungsian hutan menjadi area non-hutan menjadi faktor utama yang memperparah risiko banjir.
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, SHut, MSi, IPU, menegaskan bahwa cuaca ekstrem hanya bertindak sebagai pemicu. Akar masalahnya tetap berada pada menurunnya tutupan hutan, sang “spons raksasa” yang seharusnya menyerap dan menahan air.
Jadi, apakah pohon sawit bisa menyerap air?
Pertanyaan inilah yang banyak beredar di tengah masyarakat. Jika fokusnya hanya pada tanaman kelapa sawit, maka jawabannya iya, sawit bisa menyerap air, bahkan dalam jumlah besar.
Berdasarkan dokumen resmi Tim Agroklimatologi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), pohon kelapa sawit membutuhkan 4,10–4,65 mm air per hari. Angka ini lebih tinggi dibandingkan beberapa tanaman perkebunan lain seperti kakao (2,22–3,33 mm/hari) atau alpukat (1,80–2,77 mm/hari). Artinya, sawit tetap menjalankan fungsi fisiologis normal layaknya tumbuhan lainnya.
Air yang diserap itu kemudian dilepas kembali lewat proses transpirasi dan evaporasi. Transpirasi adalah pelepasan uap air dari tubuh tanaman (mirip “keringat” versi tumbuhan), sementara evaporasi adalah penguapan dari permukaan tanah di sekitar tanaman. Mekanisme ini berperan dalam siklus air dan membantu menjaga kelembapan mikro di area sekitar tanaman.
Meski begitu, sejumlah penelitian tetap menyoroti dampak perkebunan sawit terhadap kualitas tanah, bukan karena pohonnya tak bisa menyerap air, tapi karena sifat fisik tanah di bawah kebun sawit cenderung berbeda dari hutan alami.
Kajian M. Raynaldo Sandita Powa dalam jurnal Teknologi Perkebunan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan menunjukkan bahwa tanah perkebunan sawit memiliki kandungan bahan organik lebih rendah dibandingkan hutan maupun kebun karet.
Kandungan organik tanah sawit berada di kisaran 2,18%, sementara hutan mencapai 4,09% dan kebun karet sekitar 3,27%. Rendahnya bahan organik membuat agregat tanah kurang stabil, sehingga kemampuan tanah memegang air berkurang. Stabilitas agregat kebun sawit tercatat 51,1, lebih rendah dari hutan (67,3) maupun kebun karet (55,3).
Di sisi lain, bobot isi tanah kebun sawit berada pada angka 1,34 g/cm³ di kedalaman 0–30 cm dan 1,42 g/cm³ di kedalaman 30–60 cm. Nilai tersebut lebih tinggi daripada bobot isi umum tanah liat/lempung yang berada di rentang 0,95–1,2 g/cm³. Tanah yang padat membuat air sulit masuk, sehingga penyerapan air dalam tanah bisa terhambat.
Namun penting dicatat: data tersebut bukan berarti pohon sawit tidak bisa menyerap air. Kemampuan tanaman sawit menyerap air tetap tinggi. Tantangannya lebih kepada kondisi tanah yang berubah karena praktik pengelolaan tertentu yang sebenarnya bisa diperbaiki.
Para peneliti menekankan bahwa solusi bukanlah memusuhi satu komoditas, melainkan memperbaiki tata kelola lahan, meningkatkan konservasi, dan memastikan perkebunan sawit dikelola dengan prinsip keberlanjutan.
Rehabilitasi lahan, penambahan tanaman penutup tanah, serta peningkatan bahan organik dapat membantu mengembalikan kemampuan tanah menyerap air dengan lebih baik.***






