https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

SE Dirjenbun Terbit, Memberi Pijakan Hukum bagi Perusahaan Sawit Mengubah Kewajiban FPKMS

SE Dirjenbun Terbit, Memberi Pijakan Hukum bagi Perusahaan Sawit Mengubah Kewajiban FPKMS

Ilustrasi integrasi sawit dan sapi. Foto: pesisirselatankab.go.id

Jakarta, myelaeis.com – Melalui Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Perkebunan Nomor 1598/SE/KB.410/E/11/2025, Kementerian Pertanian resmi membuka babak baru bagi integrasi sapi dan kelapa sawit.

Regulasi ini memberi pijakan hukum bagi perusahaan sawit untuk mengubah kewajiban Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar (FPKMS) menjadi kegiatan produktif berbasis ternak, sekaligus menambah nilai ekonomi bagi masyarakat.

Selama ini, implementasi FPKMS kerap tersendat karena keterbatasan lahan dan status kepemilikan yang belum jelas. Banyak perusahaan kesulitan memenuhi target 20 persen lahan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat, sehingga program sering mandek atau menimbulkan sengketa. 

Dengan SE terbaru, ukuran kewajiban tak lagi berbasis hektare lahan, melainkan nilai ekonomi yang bisa dicapai lewat Sistem Integrasi Sapi–Kelapa Sawit (SISKA).

Wahyu Darsono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pelaku dan Pemerhati Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit (GAPENSISKA), menyebut kebijakan ini sebagai milestone krusial. Menurutnya, pendekatan baru ini menggeser paradigma FPKMS dari sekadar pembagian lahan menjadi kemitraan produktif. 

“Sawit tetap jadi komoditas utama, tetapi sapi yang merumput di sela pohon memperluas fungsi ekonomi lahan. Hambatan struktural kini jadi peluang produktif,” ujarnya. 

SE juga mengatur alokasi pakan dimana Perusahaan diwajibkan menyediakan Bungkil Inti Sawit (BIS) dari pabrik kelapa sawit untuk kelompok masyarakat yang bermitra. 

Limbah sawit ini selama ini melimpah, tetapi pemanfaatannya belum optimal. Dengan BIS, biaya logistik dan ongkos produksi daging sapi bisa ditekan, sekaligus menciptakan sirkularitas ekonomi: pakan dari limbah sawit, kotoran sapi memperkaya tanah kebun.

Sementara itu, Nilai Optimum Produksi (NOP) menjadi kunci agar masyarakat tidak dirugikan. Standar ini memastikan nilai ekonomi dari ternak minimal setara dengan nilai kebun yang seharusnya mereka terima. 

Mekanisme ini juga menyediakan transparansi: berapa ekor sapi setara dengan satu hektare kebun, bagaimana investasi dihitung, serta infrastruktur apa yang harus disediakan perusahaan.

Bagi perusahaan sawit, SE ini memberi kepastian hukum sekaligus “exit strategy” dari masalah tata ruang dan lahan. Sementara bagi masyarakat, integrasi ini membuka potensi ekonomi nyata tanpa perlu menunggu pembagian lahan fisik.

Meski demikian, keberhasilan SISKA bergantung pada implementasi di lapangan. Pakan harus tersedia, kesehatan ternak terjaga, dan kemitraan dijalankan transparan. 

Jika semua elemen ini berjalan, integrasi sawit–sapi bukan hanya memenuhi kewajiban FPKMS, tetapi benar-benar menjadi mesin uang produktif yang menguntungkan perusahaan sekaligus masyarakat.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS