Ilustrasi penertiban kawasan hutan oleh Satgas PKH. Foto: Dok Elaeis
Nusa Dua, myelaeis.com - Direktur Eksekutif Oil World, Thomas Mielke, menyebut produksi sawit Indonesia bukan hanya melambat, tapi justru berpotensi anjlok dalam dua tahun ke depan.
Peringatan itu ia lontarkan saat menghadiri Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2025 di Nusa Dua, Bali.
Menurut Mielke, tekanan terbesar berasal dari kebijakan yang dijalankan satuan tugas (satgas) pemerintah dalam penataan kawasan hutan. Pengambilalihan sebagian besar lahan sawit disebutnya sebagai pemicu langsung potensi penurunan produksi.
“Kami memperkirakan produksi Indonesia akan turun pada 2026, dan turun lebih dalam pada 2027,” ujarnya tegas.
Ia menggarisbawahi satu titik krusial: bila lahan yang terdampak satgas mencapai tiga juta hektare atau lebih, maka dampaknya bisa mengguncang pasar global.
Indonesia, yang selama ini menjadi penentu ritme pergerakan harga CPO dunia, disebut tidak akan mampu mengendalikan pasar ketika suplai dalam negeri sendiri sedang megap-megap.
“Nanti yang menentukan harga domestik adalah harga internasional. Indonesia tidak bisa menahan dampaknya,” katanya.
Mielke juga menepis anggapan bahwa Malaysia bisa menjadi penolong. Kondisi kebun tua, replanting yang lambat, hingga produktivitas yang menurun membuat Negeri Jiran itu tak punya ruang banyak untuk menaikkan produksi. Artinya, jika Indonesia seret, dunia ikut seret.
Di titik inilah kekhawatiran Mielke makin masuk akal. Ketika pasokan CPO menyempit, harga global langsung meroket. Konsumen bisa berpaling ke minyak nabati lain, dan kompetisi antar produsen pun makin ketat.
Negara-negara pesaing, seperti yang memproduksi minyak kedelai, rapeseed, dan bunga matahari, otomatis menambah areal untuk mengejar peluang kenaikan harga.
Pemerintah Indonesia memang mulai membuka peluang tanam baru seluas 600.000 hektare. Mielke menganggap langkah itu positif, tetapi tidak menjawab kebutuhan jangka pendek.
“Hasilnya baru terlihat 2028 sampai 2030. Terlalu jauh dari masalah yang muncul sekarang,” ujarnya.
Menutup analisanya, Mielke menyentil keras soal pengelolaan lahan yang diambil alih satgas.
“Kalau kebun diambil alih dari profesional, hasilnya pasti turun. Pengelolaan oleh pihak yang tidak berpengalaman tidak akan efektif,” tegasnya.
Singkatnya, menurut Mielke, kebijakan penataan lahan yang tidak terukur bisa membuat produksi sawit Indonesia jeblok. Dan jika itu terjadi, pasar global siap-siap goyang besar.***






