Berita > Ragam
Berusia 25 Tahun, Prof Bayu Sebut Apkasindo Semakin Berperan, Semakin Dikenal, dan Semakin Dilibatkan
Guru Besar IPB University, Prof Dr. Bayu Krisnamurthi. Foto: kumparan.com
Jakarta, myelaeis.com - Tantangan utama Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) adalah bagaimana memberikan nilai tambah bagi anggota dan membawa kepentingan mereka keluar, dan sawit Indonesia secara keseluruhan.
Demikian dikatakan Guru Besar IPB University, Prof Dr. Bayu Krisnamurthi, terkait HUT ke-25 Apkasindo yang jatuh pada Selasa (28/10) lalu.
Menurut Prof Bayu, Apkasindo semakin berperan, semakin dikenal, dan semakin dilibatkan. Eksistensinya sudah diterima masyarakat.
"Sekarang tantangannya adalah bagaimana memberikan nilai tambah bagi anggota dan membawa kepentingan mereka keluar, dan sawit Indonesia secara keseluruhan,” jelas Bayu.
Prof Bayu mengatakan usia 25 tahun bagi Apkasindo menjadi waktu yang tepat untuk menegaskan peran nyata bagi anggotanya dan industri sawit nasional.
“Selamat ulang tahun Apkasindo ke-25. Semoga selalu bisa berperan untuk sawit Indonesia. Usia 25 tahun adalah usia matang,” ujar Bayu saat memberikan pesan reflektif, Selasa (28/10).
“Kalau manusia, di usia ini sudah bisa menegaskan jati diri dan peranannya bagi kehidupan dan masyarakat. Apkasindo saya kira harus lebih tegas menegaskan hal tersebut,” tambahnya
Bayu menekankan bahwa fungsi utama organisasi seharusnya lahir dari kepentingan anggota sendiri.
“Peranan organisasi untuk anggota tidak harus dilakukan oleh pihak luar, tapi oleh organisasi itu sendiri. Baru setelah itu, organisasi memperjuangkan kepentingan keluar,” tutur Dewan Pakar Apkasindo ini.
Ujian Besar
Selain masalah internal organisasi, Bayu menyoroti ujian besar yang sedang dihadapi industri sawit Indonesia. Ia menegaskan bahwa ancaman terbesar bukan datang dari luar, melainkan dari ketidakmampuan kita sendiri menghadapi tantangan internal.
“Dalam sejarah banyak cerita tentang komoditas yang hebat dan dikagumi, namun akhirnya ditelan sejarah karena tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri,” ujarnya.
Salah satu isu yang mendapat sorotan adalah perbandingan harga minyak sawit dengan minyak nabati lain. Bayu mengingatkan bahwa harga sawit yang lebih tinggi dari minyak kedelai atau minyak nabati lain bisa berisiko. Konsumen di negara berkembang seperti Bangladesh, Pakistan, dan India bisa beralih ke minyak lain jika harga sawit terlalu mahal.
“Ketika harga sawit lebih mahal, itu bisa berbahaya. Begitu mereka beralih, sulit untuk kembali. Selisih harga minyak sawit yang terlalu tinggi, misalnya mencapai US$300 di atas minyak nabati lain, tampak menguntungkan jangka pendek, tapi berisiko menimbulkan koreksi tajam di masa depan,” katanya.
Selain harga, Bayu juga mengingatkan risiko kebijakan biodiesel, terutama B50, jika tidak dijalankan dengan hati-hati. Tujuan awal memperkuat industri sawit bisa berbalik menjadi bumerang.
“Biodiesel kalau tidak dikelola dengan baik, tadinya bisa jadi penolong tapi nanti justru membuat sawit Indonesia kehilangan segalanya. Kalau dipaksakan, pendapat saya terakhir itu B50 bisa menjadi genta kematian sawit,” tegasnya.
Bayu menekankan tantangan lain yang sama pentingnya regenerasi petani dan pengelolaan lahan sawit. Kedua hal ini memerlukan strategi jangka panjang, bukan solusi sesaat.
Menurutnya, Apkasindo harus hadir sebagai motor penggerak untuk memastikan keberlanjutan industri sawit, bukan sekadar organisasi yang eksis di permukaan.
“Kalau organisasi hanya eksis tanpa memberi manfaat nyata, sawit Indonesia tidak akan punya masa depan yang aman. Saatnya Apkasindo bukan hanya hadir, tapi menyiapkan sawit untuk generasi mendatang,” pungkas Bayu.***






