Berita > Inovasi
GIMNI: Transisi ke B50 Seharusnya Jadi Momentum Lompatan Kualitas Hilirisasi Energi Sawit Nasional

Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga. Foto: gimni.org
Jakarta, myelaeis.com – Muncul
kekhawatiran dari kalangan industri bahwa Indonesia belum siap secara teknologi maupun ekonomi dalam menyiapkan langkah besar dengan meningkatkan kadar campuran biodiesel dari B40 menjadi B50, yang disebut tonggak baru menuju kemandirian energi nasional dan penguatan hilirisasi sawit.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengingatkan bahwa peningkatan kadar biodiesel bukan hanya soal ketersediaan bahan baku, tetapi juga kesiapan sistem dan teknologi.
“Dari sisi pasokan CPO, kita aman. Tapi kalau tetap mengandalkan FAME, justru berisiko besar terhadap efisiensi dan keberlanjutan,” ujarnya, Kamis (16/10).
FAME atau fatty acid methyl ester adalah hasil reaksi kimia antara minyak nabati dan metanol. Teknologi ini sudah digunakan sejak lama untuk memproduksi biodiesel dalam program B20 hingga B40.
Namun, FAME memiliki karakteristik oksigenat yang menyebabkan bahan bakar mudah menyerap air dan menurun kualitasnya jika disimpan lama. Hal ini berpotensi menimbulkan endapan dan kerusakan mesin diesel yang belum teruji kompatibilitasnya dengan B50.
“FAME itu tidak sama dengan solar murni. Kalau dipaksakan ke B50 tanpa riset komprehensif, bisa berdampak ke umur mesin, bahkan ke biaya perawatan nasional,” tegas Sahat.
Dari sisi ekonomi, tantangan lain muncul. Dengan harga CPO sekitar USD 950 per ton dan ongkos produksi tambahan USD 85, biaya biodiesel FAME bisa mencapai USD 138 per barel, jauh di atas solar Euro 5 impor yang hanya sekitar USD 86 per barel.
“Selisihnya hampir USD 50 per barel. Kalau dikalikan 3 juta ton per tahun, potensi kerugian bisa mencapai ratusan juta dolar AS,” ungkapnya.
Kondisi ini membuat kalangan industri mempertanyakan arah transisi ke B50. Alih-alih meningkatkan efisiensi energi, justru ada risiko beban subsidi baru yang membengkak.
Sahat menilai pemerintah perlu berani mengambil langkah strategis dengan beralih ke teknologi hydrogenated vegetable oil (HVO), atau green diesel, yang kualitasnya setara solar fosil dan tidak membutuhkan modifikasi mesin.
“Teknologi HVO ini sudah dikaji sejak tiga tahun lalu. Tapi sampai sekarang belum ada keberanian untuk dijalankan. Padahal, HVO lebih stabil, tidak menyerap air, dan daya simpannya jauh lebih lama,” jelasnya.
Ia menegaskan, ketergantungan pada FAME bukan hanya soal teknis, tapi juga cerminan stagnasi inovasi industri sawit.
“Nilai tambah FAME hanya sekitar USD 85 dari CPO, sementara produk bio lain bisa mencapai USD 2.800 per ton. Kalau terus terpaku di situ, kita hanya berputar di lingkar lama,” kata Sahat.
Menurutnya, transisi ke B50 seharusnya menjadi momentum lompatan kualitas hilirisasi energi sawit nasional, bukan sekadar memperbesar volume campuran biodiesel. Tanpa pembaruan teknologi, Indonesia berisiko kehilangan daya saing di tengah transisi energi global.
“Kalau terus bertumpu pada FAME, B50 hanya akan menjadi simbol politik energi, bukan solusi masa depan. Indonesia butuh keberanian untuk beranjak dari teknologi lama menuju energi hijau yang sejajar dengan standar dunia,” pungkasnya.***