
Ilustrasi ekspor CPO. Foto: bpdp.or.id
Jakarta, myelaeis.com - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyoroti lambatnya realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) di saat pemerintah melakukan mandatori biodiesel 50% atau B50.
Menurut Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung, tahun ini realisasi PSR baru mencapai 21 ribu hektar atau hanya sekitar 17,5% dari target seluas 120 ribu hektar.
“Kalau PSR jalan sesuai target, produksi CPO petani bisa naik jadi 6–9 ton per hektar per tahun, dari sebelumnya hanya 1,7–2,5 ton,” ujarnya.
Menurut perhitungan Apkasindo, kebutuhan crude palm oil (CPO) untuk program B50 bisa mencapai 18 juta ton, atau sekitar 39% dari total produksi nasional. Artinya, permintaan dalam negeri akan meningkat tajam dan memberi efek domino terhadap harga sawit petani.
“Kalau B50 berjalan, konsumsi dalam negeri bisa tembus 25 juta ton. Ini artinya permintaan sawit dalam negeri akan sangat kuat, dan petani jelas akan merasakan dampaknya lewat kenaikan harga TBS,” tutur Gulat.
Sebelumnya, Gulat menilai program mandatori biodiesel 50% atau B50 akan menjadi kabar baik bagi petani sawit di seluruh Indonesia.
Pasalnya, campuran bahan bakar solar dengan 50% minyak sawit mentah (CPO) itu diyakini bisa mendongkrak harga sawit dan pendapatan petani secara signifikan.
Gulat Manurung mengatakan penerapan B50 yang ditargetkan mulai semester kedua tahun 2026 akan langsung berdampak pada naiknya harga CPO, yang selama ini menjadi acuan utama harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani.
“Kalau harga CPO naik, otomatis harga TBS petani ikut terdongkrak. Ini sudah terbukti dari kebijakan sebelumnya, dari B30 ke B35 dan sekarang B40,” ujar Gulat, Senin (13/10).
Berdasarkan data Apkasindo, sejak program biodiesel berjalan, harga CPO naik rata-rata Rp1.000 hingga Rp1.500 per kilogram. Dampaknya, harga TBS petani ikut melonjak Rp300 hingga Rp500 per kilogram setiap kali kadar campuran biodiesel dinaikkan.
“Sejak B30 sampai B40, harga TBS sudah naik rata-rata Rp1.200 sampai Rp1.500 per kilogram. Saat ini petani bisa menikmati harga Rp2.600–3.800 per kilogram, jauh lebih baik dibanding sebelumnya,” jelasnya.
Namun di sisi lain, Gulat mengingatkan ada tantangan serius yang harus diantisipasi. Produksi CPO nasional justru menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 3–5 juta ton.
Penyebabnya antara lain banyak kebun sawit yang rusak, belum menghasilkan, atau masih dalam proses pemulihan oleh PT Agrinas Palma Nusantara (Persero).
Dari laporan ke DPR RI, luas kebun yang diserahkan Satgas Penertiban Kawasan Hutan mencapai 833 ribu hektar, dengan 509 ribu hektar rusak dan 323 ribu hektar belum tertanam.
“Kebun rusak ini bisa membuat produksi CPO turun sekitar 1 juta ton, dan butuh waktu 3–5 tahun untuk pulih,” kata Gulat.***