Joni saat akan mengemudikan truknya. foto: aziz
Matahari baru saja berada di atas ubun-ubun saat Juni Ramayani tiba di RAM UD.Chairiah di jalan lintas desa Rantau Panjang Kecamatan Longkib Kota Subulussalam Provinsi Aceh itu, Selasa pekan lalu.
Ibu tiga anak ini bukan sedang mengantar Tandan Buah Segar (TBS) ke ram yang berdiri sejak tahun 2019 itu, tapi justru mengantar makan siang suaminya, Joni Sinaga, seorang sopi truk sawit yang rutin mengangkut TBS dari ram itu ke pabrik sawit Global Sawit Semesta (GSS).
Juni tak kesulitan datang ke sana lantaran rumah mereka tak jauh dari ram milik Mahrudin Sinaga itu. Hanya lima menit pakai sepeda motor ke arah timur ram.
Joni yang menengok istrinya datang, langsung berusaha menghampiri. Tadinya lelaki 46 tahun itu sedang ikut memuat TBS ke bak truk yang dia parkirkan di tempat khusus memuat TBS di sebelah Barat ram.
"Saya makan dulu sebentar ya, Pak. Enggak enak, istri sudah datang membawa makan siang. Hampir tiap hari nasi saya diantar," lelaki ini sumringah kepada Elaeis Media Group sembari berlalu.
Tak butuh waktu lama, pasangan suami istri ini sudah larut dengan menu yang dibawakan oleh perempuan 42 tahun itu, sembari duduk berhadap-hadapan di meja kayu yang ada di sisi kanan ram.
*****
Tak terasa sudah 11 tahun Joni menjadi sopir truk sawit. Mulai dari bergaji Rp560 ribu sebulan, hingga sekarang bisa membawa pulang Rp10 juta sebulan.
Mulai dari yang dulunya jalan lintas desa itu masih tanah berlumpur, hingga sekarang sudah beraspal mulus.
Sesungguhnya tak pernah terpikirkan oleh Joni akan menjadi sopir truk sawit. Soalnya waktu itu dia hanya seorang petani palawija.
Macam-macam yang dia tanam di lahan seluas dua hektar itu. Mulai dari sayuran, timun, semangka, bahkan cabe.
Hanya saja lambat laun, dia mulai berpikir apa kira-kira pekerjaan yang bisa dia lakoni meski sudah tua kelak. Soalnya kalau bertani terus, seiring bertambah usia, tenaga pasti akan semakin berkurang pula.
Entah dari mana ide itu muncul, tiba-tiba Joni kepikiran untuk menjadi sopir. Pekerjaan yang enggak perlu menguras tenaga, cuma modal skill dan keberanian saja.
Meski sudah bulat tekadnya untuk menjadi sopir, Joni tidak serta merta terjun ke dunia itu. Tapi dia persiapkan dulu sumber duit yang lain supaya dapur tetap ngebul.
Alhasil, tanah dua hektar miliknya yang tadinya dia manfaatkan untuk bertanam palawija, dirubah menjadi bertanam sawit.
Rampung, dia pun mulai ikut temannya yang sopir. Bukan untuk belajar langsung, tapi menengok-nengok seperti apa cara mengemudikan mobil. Dia duduk di sebelah kiri.
Tiga bulan rutin ikut temannya, Joni mulai coba-coba menyetir sendiri. Bisa! Singkat cerita, tahun 2014, Joni benar-benar menjadi sopir truk sawit pada usaha Mahrudin Sinaga yang masih keluarganya itu.
Dulu kata Joni, pola pengangkutan TBS belum kayak sekarang, petani yang datang ke ram. Tapi truk yang datang membawa timbangan gantung ke tiap kebun para petani yang kebetulan telah panen.
Dalam hitungan Joni, ada lebih dari 100 petani kelapa sawit di desa itu yang rutin dia datangi. Semuanya tergabung dalam Kelompok Tani 'Suka Tani'.
Dari jam 9 atau jam 10 pagi, Joni sudah mulai berkeliling di kebun-kebun itu, hingga sore, sampai truk penuh muatan sawit.
"Kalau truk sudah penuh, saya jalan sendirian ke pabrik. Enggak pakai kernet. Jadi kalau misalnya terpuruk atau mobil rusak di jalan, ya beresin sendiri. Kalau enggak bisa lagi, baru minta tolong teman-teman lain," ujarnya.
Awal-awal, Joni benar-benar menderita di jalanan. Maklum, waktu itu jalanan yang dia tempuh masih tergolong ekstrim. Sudahlah begitu, di mobil dia sendirian pula.
Celakanya, tak ada perbekalan yang memadai di mobil mana kala Joni harus tidur di jalanan bila mobil terpuruk atau rusak.
"Tapi setelah punya pengalaman terpuruk seperti itu, saya siapin perlengkapan. Mulai dari bantal, selimut, bahkan anti nyamuk," terkekeh juga Joni mengenang.
Meski dihadapkan pada situasi dan medan yang berat, ditambah lagi gaji yang hanya Rp560 ribu sebulan, Joni tak gampang patah arang.
"Jadi sopir sudah menjadi pilihan saya. Jalani saja," begitulah prinsip yang terus dipegang Joni.
Lagi pula kata Joni, yang namanya masih merintis ya pasti pahit lah. "Waktu itu trip ke pabrik belum banyak. Wajar saja gaji masih segitu," katanya.
Di balik rasa jenuh yang kadang 'menggoda', tetap besar rasa yakin Joni kalau usaha bersama milik keluarga itu akan berkembang. "Yang penting benar-benar diurusi," begitu prinsip yang dibangun.
Benar saja, empat tahun kemudian, persis di tahun 2018, TBS yang diangkut oleh Joni benar-benar membengkak. Per hari bisa sampai 5 trip. Malah dua truk yang ada, dia sendiri sopirnya.
"Caranya, mobil pertama saya antar dulu ke pabrik. Pulang dari pabrik, mobil kedua sudah penuh. Saya bawa lagi ke pabrik. Begitulah sangking banyaknya buah," ujarnya.
Lantaran buah banyak tadilah kata Joni, mau jam 2 malam, jam 3 malam, tetap dia jabani. "Kebetulan pabrik buka 24 jam. Hanya saat solat subuh saja stop," katanya.
Pokoknya, selagi masih ada buah, Joni tetap hilir mudik ke pabrik. Oleh kesibukan itu pula, Joni menjadi jarang pulang.
"Hampir 80% waktu saya di jalan. Istri saya sudah paham saja. Sebab dia tahu saya harus tanggungjawab dengan pekerjaan saya," wajah Joni nampak serius.
Gara-gara jarang di rumah itulah istri Joni membekali mobil truk itu dengan bantal, handuk, jaket dan sarung.
Tak terasa, Joni sudah memiliki bekal di hari tuanya. Kebun sudah menjadi 4 hektar. Rumah pribadi yang mumpuni juga sudah punya, termasuk mobil pribadi.
Anak pertamanya sudah pula bekerja di Bandara Kualanamu. Yang kedua kuliah di Banda Aceh dan yang bontot masih kelas 6 SD.
Mata lelaki ini kemudian menatap jauh ke depan. "Walau kelak saya sudah tua, saya akan tetap menggeluti profesi saya, meski itu hanya sekadar hobi," setengah bergumam lelaki ini berucap.






