https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Persona

Sempat Curiga Dana Bantuan PSR

Sempat Curiga Dana Bantuan PSR

Sulisman. foto: aziz

Subulussalam, sebuah kota kecil di perbatasan Provinsi Aceh Darussalam dengan Provinsi Sumatera Utara, mungkin belum sepopuler daerah-daerah perkebunan besar seperti Riau atau Kalimantan. 

Namun di kota dengan luas kebun sawit sekitar 37.000–40.000 hektare ini, kelapa sawit telah menjelma menjadi motor penggerak ekonomi baru. Dari masyarakat biasa, petani kecil, hingga perusahaan pemilik Hak Guna Usaha (HGU), hampir semua denyut kehidupan kini berirama dengan kelapa sawit.

Di balik perjalanan panjang itu, ada nama Sulisman. Mantan Kepala Dinas Perkebunan, Pertanian, Peternakan, dan Perikanan Kota Subulussalam ini dikenal sebagai motor penggerak program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sejak tahun 2019. 

Kini meski telah pensiun, ia masih aktif sebagai Sekretaris DPD Apkasindo Kota Subulussalam, mendampingi petani, bahkan mengantar mereka meraih sertifikasi berkelas dunia seperti RSPO.

Awal yang penuh keraguan
Sulisman mengingat jelas tahun 2019, saat PSR pertama kali diperkenalkan di Subulussalam. Program hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kepala Sawit (BPDPKS) yang kini menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) itu menjanjikan bantuan dana besar untuk peremajaan sawit. Namun justru karena besar, petani curiga.

“Banyak yang bertanya, apa benar program ini? Jangan-jangan lahan kami digadaikan pula ke bank,” kenang lelaki 60 tahun ini saat berbincang dengan Elaeis Media Group di kebun sawit milik Amri Limbong, salah seorang peserta PSR di Gampong Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat Kota Subulussalam, Provinsi Aceh.

Kecurigaan itu wajar. Sebelumnya, berbagai program sering kali berakhir dengan penipuan atau janji palsu. Apalagi PSR mensyaratkan legalitas lahan dan dokumen petani. Ada yang bahkan terang-terangan menolak, karena takut tanahnya hilang.

Sulisman bersama tim dinas tidak tinggal diam. Sosialisasi demi sosialisasi digelar, meyakinkan petani bahwa program ini nyata dan aman. Namun, tantangan tidak berhenti di situ. 

Ketika dana hibah masuk ke rekening petani sebelum dialihkan ke escrow account koperasi, ada yang sempat menarik uangnya secara pribadi. “Untung bisa kami kembalikan lagi,” ujarnya sambil tersenyum mengingat pengalaman tersebut.

Dari 25 juta ke 60 juta per hektare
Awalnya, dana PSR hanya Rp25 juta per hektare, lalu naik jadi Rp30 juta, dan kini Rp60 juta per hektare. Kenaikan ini bukan tanpa alasan. Banyak petani tidak mampu merawat kebun setelah ditanam, sehingga lahan replanting kembali menjadi semak belukar.

“Sekarang dana bisa sampai pemupukan dan tanaman menghasilkan. Dulu hanya cukup sampai P0 atau P1, sekarang bisa sampai buah pasir,” jelas Sulisman.

Ia menilai langkah pemerintah itu tepat. Biaya menanam sawit sebenarnya bisa mencapai Rp57–65 juta per hektare. Tanpa dukungan tambahan, petani kecil sering kewalahan.

Perjalanan Sulisman
Karier Sulisman di dinas dimulai sejak 2015. Pada 2019 ia masih menjabat kepala dinas, kemudian sempat dipindahkan ke Asisten I pada 2020, lalu kembali lagi ke dinas hingga menjelang pensiun. “Enam bulan sebelum pensiun, saya minta kembali ke Asisten I. Supaya tidak terlalu sibuk,” tuturnya.

Namun pensiun tidak membuatnya jauh dari sawit. Ia justru semakin aktif mendampingi petani. Bersama kelompok di bawah naungan CPPAG, Sulisman membina 229 petani dengan luas lebih dari 600 hektare hingga berhasil meraih sertifikasi RSPO. 

“Bulan Maret lalu sudah terbit sertifikatnya. Bahkan sudah ada tawaran premium price dari Unilever,” katanya dengan bangga.

5.000 hektare replanting
Selama kepemimpinannya, lebih dari 2.500 hektare lahan berhasil diremajakan lewat PSR. Kini, jumlah itu sudah berkembang menjadi sekitar 5.000 hektare tersebar di lima kecamatan. Meski tidak sebesar daerah lain, capaian ini cukup signifikan untuk ukuran kota kecil.

Subulussalam sendiri memiliki 37.000–40.000 hektare kebun sawit, terdiri dari 18.000 hektare HGU dan sisanya milik petani swadaya. 

Artinya, sekitar 65 persen sawit dikelola masyarakat. Namun kondisi kebun sangat beragam. Ada yang produktif, ada pula yang hanya menghasilkan 200–300 kg per hektare per panen karena kurang pupuk dan perawatan.

PKS dan harapan kemitraan
Kunci keberhasilan sawit Subulussalam, menurut Sulisman, ada pada hubungan petani dengan pabrik kelapa sawit (PKS). Saat ini terdapat lima PKS di wilayah ini, namun belum ada satu pun yang bermitra langsung dengan petani. 

Padahal Permentan sudah mendorong sistem kemitraan, agar PKS punya wilayah binaan, membantu pupuk, dan menjamin pasokan TBS.

“Kalau ini berjalan, petani sejahtera, PKS terjamin pasokan, rendemen meningkat. Semua diuntungkan,” tegas Sulisman.

Apkasindo, organisasi tempat ia bernaung, sedang berjuang mendorong hal itu. Dari tingkat kota, provinsi, bahkan hingga DPR Aceh, mereka mendorong regulasi yang lebih tegas agar PKS wajib bermitra.

Motor ekonomi baru
Meski masih banyak tantangan, Sulisman yakin sawit sudah menjadi motor penggerak ekonomi Subulussalam. “Ini sudah terbukti. Subulussalam yang kecil ini hidup dari sawit. Baik pekerja harian maupun petani pemilik kebun, semuanya bergantung pada sawit,” ujarnya.

Kini, ia berharap Subulussalam bisa menjadi contoh bahwa sawit tidak hanya urusan perusahaan besar. Dengan tata kelola yang baik, dukungan pemerintah, dan kemitraan dengan PKS, petani kecil pun bisa naik kelas.

“Kalau petani kita naik kelas, hasil meningkat tanpa perlu buka lahan baru. Inilah intensifikasi yang selalu kita dorong,” tutupnya penuh semangat.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS