
Topan Bakti Nasution bersama istrinya Siti Adun Harahap. foto: aziz
Modal nekad, pasangan suami istri ini bisa punya kebun sawit hingga 30 hektar dari 36 hektar total luas lahan.
Lelaki 68 tahun itu nampak terseok-seok menuntun seekor lembu betina di dalam kandang di dekat rumah papan yang ada di tengah kebun kelapa sawit di kawasan Gampong Bangun Sari Kecamatan Longkib Kota Subulussalam Provinsi Aceh itu, Senin pekan lalu.
Di dalam kandang yang hanya terbuat dari pagar kayu itu, ada dua kandang semi permanen, terbuat dari beton dan dilengkapi tempat pakan yang juga terbuat dari beton pula.
Di sisi kanan kandang, dua orang tukang masih sedang memoles kandang baru yang belum rampung.
Di kandang itulah sehari-hari ayah tiga anak ini mengumpulkan sekitar 50 ekor lembunya, usai merumput sedari pagi hingga sore di areal kebun kelapa sawit seluas 30 hektar itu.
“Total luas lahan ini sebenarnya 36 hektar. Namun yang menjadi kebun sawit hanya 30 hektar. Hasilnya antara 55-60 ton per bulan,” cerita Topan Bakti Nasution saat berbincang dengan Elaeis Media Group (EMG), di dalam kandang yang becek itu.
Di sisi timur kandang itu, Siti Adun Harahap nampak menyabit rumput yang mulai tinggi di gawangan kelapa sawit, persis di bibir jalan kecil yang sengaja dibikin di kebun itu.
Meski sudah berumur 65 tahun, Siti masih kelihatan cekatan. Dia baru berhenti menyabit setelah suaminya, Topan, mengajaknya duduk di saung tadi.
“Sudah sangat banyak suka duka kami membangun kebun ini hingga bisa seperti sekarang. Bapak malah sempat dibilang orang, orang gila, karena membuka hutan untuk membikin kebun sawit. Sebab waktu itu masih suasana konflik pula,” sambil menyeka keringat yang masih bercucuran, Siti mulai berkisah.
Pada era ‘90-an, Topan sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Pertanian. Di kawasan yang saat itu masih bernama Aceh Singkil --- tahun 2007 Subulussalam dimekarkan menjadi berstatus kota --- tugasnya adalah menjadi penyuluh lapangan.
Masa itulah dia banyak berinteraksi dengan warga transmigrasi, khususnya mereka yang berada di Gampong Bangun Sari.
“Masa itu konflik Aceh membikin warga transmigrasi itu ketakutan. Tak sedikit yang memilih pulang kampung saja. Mereka kemudian menjual lahannya dengan harga murah. Antara Rp2-3 juta per dua hektar (per kavling). Asal bisa untuk ongkos pulang, lahan dilepas. Di antaranya ada menawarkan ke saya,” kenang Topan.
Lantaran merasa kasihan, Topan pun membeli satu kavling. Berikutnya satu kavling lagi. “Begitulah cikal bakal kami punya lahan di pemukiman transmigrasi. Waktu itu tanaman sawitnya tidak bagus lantaran bibitnya asal-asalan,” katanya.
Perlahan, Topan membenahi kebun yang baru dia beli itu. Statusnya yang pegawai negeri dan istrinya yang jago cari duit dengan menjadi toke keripik ubi, membuat keuangan mereka bisa dibilang ada ketimbang orang pada umumnya. Siti mempekerjakan orang membikin keripik ubi, dia tinggal menyalurkan ke pasar-pasar.
Hanya saja lantaran konflik terus berkepanjangan dagangan Siti mulai mandeg, hingga sampai tak laku lagi. Oleh konflik itu pula, suaminya tidak bisa aktif di kantor.
Mendapati situasi seperti itu, suami istri ini pun berunding untuk serius saja berkebunan. Kebetulan tak jauh dari lahan transmigrasi yang dibeli tadi, ada hutan yang bisa dibuka untuk dijadikan kebun kelapa sawit.
Topan memilih sawit lantaran di daerah lain dia tengok sudah banyak kehidupan orang berubah menjadi lebih baik setelah bertanam sawit.
“Saya sering ke daerah-daerah di Sumatera Utara yang ada sawitnya. Hidup mereka semakin bagus. Memang di sini dulu orang bertanam karet, tapi hasilnya kurang bagus,” terangnya.
Jujur kata Topan, dia tidak punya pengalaman membuka hutan. Itulah makanya, imas tumbangnya asalan saja. Yang penting lahan itu terbuka. Untunglah ada beberapa tetangga yang minta pekerjaan kepadanya, ikut imas tumbang.
“Lantaran di masa itu uang sulit, saya hanya sanggup mencicil bayaran mereka, tetangga itu mau, yang penting bisa beli beras,” kenang Siti.
Singkat cerita, dua hektar lahan sudah terbuka. Apes, entah dari mana datangnya api, lahan itu terbakar. Jadilah kayu-kayu yang baru ditebang bergelimpangan tak karuan di lahan itu.
Memang waktu itu kata Topan, kondisi masih jauh dari seperti sekarang. Jalan masih kecil dan berlumpur. Itulah saban hari yang dilalui oleh pasangan ini.
“Banyak yang bilang saya gila. Tanam sawit di tengah hutan. Saya cuekin saja omongan itu,” Topan terkekeh bercerita.
Lambat laun, lahan yang dibuka oleh Topan semakin luas dan tak terasa sudah mencapai 36 hektar. Berangsur-angsur pula Topan menanami lahan itu dengan sawit. Dimulai tahun 2002, lalu tahun berikutnya, hingga 15 tahun kemudian, Topan masih menanami lahan itu dengan sawit.
Sebenarnya ada juga sejumlah orang yang diajak Topan untuk turut membuka lahan bersamanya. Namun di perjalanan, orang-orang itu menyerah dan meminta Topan membeli lahan itu. Topan mau asal yang menjual mau bayarannya dicicil.
Konflik mereda, situasi mulai membaik, Topan naik jabatan pula menjadi Camat Longkib bahkan hingga dua tahun setelah Subulussalam berdiri sendiri menjadi kota.
Selama jadi camat, kebun yang mulai berbuah pasir nyaris tak terurus. Sebab Topan sibuk dengan rutinitasnya dan Siti turut pula sibuk oleh jabatannya sebagai ketua PKK kecamatan.
Tapi setelah tak lagi menjadi camat di tahun 2009, Topan kembali serius mengurusi kebunnya. Setahun kemudian, hasil kebun mulai ada. Tanaman 2002 hingga 2005, sudah menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS).
Tapi masalah baru muncul pula. Topan kesulitan mendapatkan pupuk kimia. Dari situlah lelaki ini kemudian terniat untuk memelihara sapi.