https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Menyoal Kekisruhan Akibat PP 45/2025, Akademisi: Ujian Kemampuan Pemerintah Menyelesaikan Konflik

Menyoal Kekisruhan Akibat PP 45/2025, Akademisi: Ujian Kemampuan Pemerintah Menyelesaikan Konflik

Ilustrasi penertiban kawasan hutan. Foto: Ist

Jakarta, myelaeis.com - Upaya pemerintah menertibkan lahan perkebunan kelapa sawit yang masuk kawasan hutan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 ternyata memicu polemik.

Regulasi ini, yang mengubah PP No.24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan PNBP, justru dianggap memperkeruh persoalan kawasan hutan yang telah berlangsung lebih dari dua dekade.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc., mengupas tuntas akar masalah yang selama ini membelit kawasan hutan di Indonesia.

Menurutnya, permasalahan ini sesungguhnya berawal dari sejarah panjang regulasi kehutanan di Tanah Air. Ia menelusuri sejak terbitnya UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, yang menjadi titik awal kerancuan interpretasi terhadap lahan hutan tetap.

“UU ini tumpang tindih dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Ketidakjelasan definisi ‘pokok-pokok’ menjadi sumber konflik kepemilikan dan pengelolaan lahan yang terus berlanjut hingga hari ini,” ujar Prof. Sudarsono.

Selain itu, definisi “hutan tetap” yang ambigu memicu interpretasi berbeda sehingga memunculkan sengketa lahan di berbagai daerah.

Prof. Sudarsono menjelaskan bahwa proses pembentukan kawasan hutan terdiri dari empat tahap: penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan.

Namun, penataan batas sering menjadi titik krusial karena berbenturan dengan hak masyarakat dan pemilik lahan. Akibatnya, banyak kasus di mana tahap ini tidak pernah terselesaikan, menimbulkan konflik berkepanjangan.

Pemerintah pun mengambil langkah-langkah sementara yang justru memperparah masalah, seperti pembentukan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (PGHK) di tingkat provinsi. “PGHK ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan sering menjadi dasar klaim sepihak atas kawasan hutan,” katanya.

Perubahan definisi kawasan hutan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 yang memberi wewenang tunggal kepada Menteri Kehutanan juga dianggap kontroversial.

Hal ini membuat pengambilan keputusan tidak melibatkan kementerian lain dan sektor terkait, sehingga tata kelola kawasan hutan menjadi tidak transparan.

Dampak nyata dari persoalan ini antara lain sertifikat dan HGU lahan transmigrasi yang tiba-tiba masuk kawasan hutan, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34 Tahun 2011.

Selain itu, Prof. Sudarsono juga menyoroti potensi campur tangan asing melalui LSM dan NGO yang memanfaatkan isu kawasan hutan untuk kepentingan tertentu.

“Permasalahan kawasan hutan adalah kompleks dan membutuhkan penanganan berkelanjutan. Komitmen kuat pemerintah untuk melibatkan semua pihak dan menegakkan keadilan bagi masyarakat sangat penting,” tegas Prof. Sudarsono.

Dengan perspektif ini, PP 45/2025 yang sedang bergulir kini terlihat bukan sekadar regulasi administratif,
tapi juga ujian bagi kemampuan pemerintah dalam menyelesaikan konflik sejarah dan memastikan tata kelola kawasan hutan yang asadil serta berkelanjutan.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS