
Ilustrasi koperasi sawit, upaya penguatan kelembagaan petani. Foto: mongabay.co.id
Jakarta, myelaeis.com - Di tengah carut-marutnya tata kelola sawit nasional, lembaga riset INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) menilai saatnya pemerintah melakukan pembenahan serius dari hulu ke hilir.
Bukan sekadar mengejar ekspor dan diplomasi dagang, tapi menyentuh akar persoalan yang membuat petani kecil terus tertinggal.
Menurut hasil diskusi para ekonom INDEF, kunci utama perbaikan industri sawit Indonesia ada pada reformasi legalitas lahan, penguatan kelembagaan petani, dan digitalisasi rantai pasok. Tiga langkah ini disebut mampu menjadi pondasi menuju tata kelola sawit yang lebih adil, berkelanjutan, dan transparan.
Langkah pertama, reformasi legalitas lahan harus jadi prioritas. Banyak petani sawit rakyat belum memiliki dokumen legal yang diakui negara, sehingga sulit mengakses pembiayaan maupun sertifikasi keberlanjutan. INDEF menekankan pentingnya mengakui Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) atau e-STDB sebagai instrumen legal utama bagi petani kecil.
Dokumen ini perlu diselaraskan dengan kebijakan One Map Policy agar tidak lagi ada tumpang tindih kawasan antara lahan masyarakat dan kawasan hutan.
Kedua, penguatan kelembagaan petani melalui koperasi dinilai mendesak. Dengan wadah kolektif, petani bisa mendapatkan skema sertifikasi bersama (kolektif) serta membangun Internal Control System (ICS) yang efisien.
“Insentif dari APBN, APBD, maupun BPDP dapat diarahkan untuk menanggung biaya pra-sertifikasi agar beban petani berkurang,” jelas Imaduddin Abdullah, Direktur Kerja Sama Internasional INDEF.
Langkah ketiga, percepatan digitalisasi rantai pasok. INDEF mengusulkan pembangunan national dashboard untuk ketertelusuran (traceability) yang mengintegrasikan data lahan, produksi, hingga transaksi.
Teknologi pemetaan murah berbasis aplikasi atau Internet of Things (IoT) bisa dimanfaatkan untuk membantu petani kecil dalam melacak asal-usul produksi, sesuai tuntutan global seperti regulasi EUDR (European Union Deforestation Regulation).
Imaduddin menegaskan, momentum penundaan penerapan EUDR harus dimanfaatkan maksimal. “Sekaranglah waktunya memperkuat kapasitas petani kecil, menyederhanakan regulasi, dan menyiapkan dukungan anggaran termasuk bagi program STDB dan peremajaan sawit rakyat,” ujarnya.
Ia menambahkan, peluang besar terbuka melalui sertifikasi, digitalisasi, diversifikasi pasar, dan diplomasi internasional. Namun tanpa perbaikan di level petani, industri sawit nasional akan terus tersandera masalah lama.
Reformasi struktural yang berpihak pada rakyat menjadi jalan satu-satunya agar sawit Indonesia benar-benar berdaulat dan berkelanjutan.***