https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Petani

APKASINDO: Lebih dari 2,89 Juta Petani Kecil Belum Tersentuh Program Pendanaan dari BPDP

APKASINDO: Lebih dari 2,89 Juta Petani Kecil Belum Tersentuh Program Pendanaan dari BPDP

Ilustrasi replanting, salah satu program pendanaan dari BPDP. Foto: bpdp.or.id

Jakarta, myelaeis.com - Apakah para petani sawit, sebagai salah satu ujung tombak produksi sawit nasional, sudah diuntungkan dengan kondisi yang ada saat ini?

Nyatanya: belum atau tidak. Kesimpulan ini dipetik dari pernyataan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), yang mengungkap- fakta lapangan yaitu rantai pasok sawit yang terlalu panjang membuat petani justru tekor di tanahnya sendiri.

Djono Albar Burhan, Head of International Relation and People Development APKASINDO, mengatakan bahwa problem sawit rakyat bukan hanya soal harga, tapi juga sistem yang belum berpihak pada petani.

“Ada disparitas harga TBS (Tandan Buah Segar), masalah ketertelusuran yang bikin harga dipotong sampai ratusan ribu rupiah per ton, hingga urusan legalitas lahan dan akses teknologi yang masih terbatas,” ujarnya tegas.

Data APKASINDO menunjukkan, lebih dari 2,89 juta petani kecil hingga kini belum tersentuh program pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Padahal dana tersebut sejatinya disiapkan untuk membantu peningkatan produktivitas dan peremajaan kebun sawit rakyat.

Djono menuturkan, produktivitas petani saat ini hanya berkisar 10–15 ton TBS per hektare, jauh di bawah potensi sebenarnya. “Kalau mereka menerapkan Good Agricultural Practices (GAP), hasilnya bisa naik sampai 30–40 ton per hektare dengan rendemen 23–25%. Tapi banyak petani belum punya akses ke pelatihan dan teknologi yang memadai,” jelasnya.

Namun, rendahnya produktivitas bukan satu-satunya masalah. Berdasarkan kajian Kementerian Pertanian, rantai pasok sawit dari petani ke pabrik masih terlalu panjang karena melibatkan banyak perantara. Kondisi ini menekan harga TBS di tingkat petani dan memperkecil margin keuntungan. Selain itu, struktur distribusi yang berlapis membuat sistem ketertelusuran (traceability) sulit diterapkan, padahal hal ini menjadi syarat penting dalam aturan EUDR (European Union Deforestation Regulation) agar sawit Indonesia bisa diterima di pasar global.

Untuk mengurai benang kusut tersebut, pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 132 Tahun 2024 dan Permentan Nomor 05 Tahun 2025 yang mengalokasikan dana BPDP guna memperkuat pengembangan SDM sawit rakyat. Program ini meliputi pelatihan teknis, vokasi, kewirausahaan, serta pembentukan penyuluh swadaya dari kalangan petani sendiri.

Selain itu, Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menargetkan perbaikan 120 ribu hektare kebun per tahun, lengkap dengan dukungan sertifikasi ISPO, infrastruktur, serta pembiayaan lewat KUR dan BPDP.

Djono berharap langkah-langkah ini bisa memotong rantai pasok dan menaikkan pendapatan petani. “Kalau sistemnya sederhana dan petani punya akses modal serta teknologi, kita bisa buktikan sawit rakyat pun bisa maju dan berdaya saing,” tutupnya.***
 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS