
Ilustrasi pekebun sawit. Foto: fajarasia.id
Jakarta, myelaeis.com - Kesadaran pekebun sawit untuk menertibkan administrasi kebunnya kini makin meningkat. Hal ini terlihat dari capaian penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang terus bertambah signifikan.
Ketua Kelompok Budidaya, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan, Togu Rudianto Saragih, mengungkapkan bahwa hingga 17 September 2025, jumlah pekebun yang telah terdaftar di sistem E-STDB mencapai 226.058 orang dengan total luas lahan 634.306,97 hektare.
“Rinciannya, ada 53.035 pekebun dalam tahap pendataan, 22.032 sedang diverifikasi, 5.735 dalam proses penerbitan, dan 142.970 STDB sudah terbit. Sementara yang tidak bisa diterbitkan sebanyak 2.649,” ujar Togu dalam acara 5th Indonesia Palm Oil Smallholders Conference (IPOSC) 2025 di Kubu Raya, Senin (6/10/2025).
Dari seluruh komoditas perkebunan, kelapa sawit masih menjadi penyumbang terbesar dalam penerbitan STDB. Jumlahnya mencapai 167.524 pekebun, atau sekitar 5,68 persen dari total pekebun sawit nasional dengan luas lahan 600.037,93 hektare.
“Ini menunjukkan bahwa pekebun sawit semakin sadar pentingnya memiliki STDB sebagai bentuk legalitas usaha budidaya mereka,” jelas Togu.
Sebagai perbandingan, pekerja di sektor kopi yang sudah masuk proses STDB tercatat 30.917 orang (2,01 persen) dengan luas 17.180,71 hektare. Sementara pekebun kakao baru mencapai 20.429 orang (1,33 persen) dengan luas 13.995 hektare, dan pekebun karet tercatat 1.891 orang atau hanya 0,1 persen dengan luas 2.514 hektare.
Bagi pekebun, STDB bukan izin usaha, melainkan keterangan resmi kegiatan budidaya yang diterbitkan oleh bupati, wali kota, atau kepala dinas perkebunan setempat. Dokumen ini penting untuk semua komoditas perkebunan, khususnya bagi pekebun dengan lahan kurang dari 25 hektare dan berada di lokasi clear and clean.
Menurut Togu, manfaat Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) sangat besar bagi pekebun rakyat. STDB bukan sekadar dokumen administratif, melainkan fondasi penting dalam membangun tata kelola perkebunan yang berkelanjutan dan tertib. Melalui STDB, pemerintah dapat menghimpun data kepemilikan kebun rakyat secara akurat, sehingga setiap petani memiliki identitas yang jelas dan terdata dalam sistem nasional. Data ini menjadi dasar dalam merancang kebijakan dan program pembangunan perkebunan yang lebih tepat sasaran.
Lebih dari itu, STDB juga berperan penting dalam mewujudkan sistem ketelusuran komoditas perkebunan. Dengan adanya STDB, asal-usul produk dapat ditelusuri dengan jelas, mulai dari siapa yang menanam, di mana kebunnya berada, hingga bagaimana praktik budidayanya dijalankan. Hal ini menjadi krusial di tengah tuntutan pasar global yang semakin ketat terhadap standar keberlanjutan dan transparansi rantai pasok.
Manfaat lain yang tak kalah penting adalah kemudahan dalam penyaluran berbagai program pemerintah. Petani yang sudah memiliki STDB akan lebih mudah mendapatkan akses bantuan, pendampingan teknis, maupun fasilitas pembiayaan. Pemerintah daerah pun lebih leluasa dalam menyalurkan program dengan tepat sasaran, karena data penerima sudah terverifikasi dengan baik.
Selain itu, STDB juga memperkuat kelembagaan pekebun agar lebih mandiri dan tertib secara administrasi. Dengan terdaftar secara resmi, kelompok tani atau koperasi bisa lebih mudah menjalin kerja sama dengan pihak swasta, lembaga keuangan, maupun lembaga sertifikasi. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ekosistem perkebunan rakyat yang lebih solid dan berdaya saing tinggi.
Togu menegaskan, keberadaan STDB sejatinya adalah jembatan menuju masa depan perkebunan yang lebih transparan, modern, dan berkeadilan. Petani yang dulu hanya dianggap pelaku di pinggir sistem, kini punya posisi strategis sebagai subjek utama pembangunan sektor perkebunan nasional.***