Berita > Persona
Kisah Petani Sawit di Simalungun: Awalnya Punya 1 Hektar, Kehidupannya Berubah Setelah Gabung Koperasi

Bu Nur. Foto: Ist
PERJUANGAN awal yang berat sebagai pekebun kelapa sawit juga dilalui oleh Bu Nur, seorang petani kelapa sawit di Simalungun, Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Dilansir dari website Fortasbi, dua dekade silam, Bu Nur hanya memiliki sebidang lahan sawit seluas satu hektare. Dengan kerja keras tanpa henti, ia mengelola kebun itu hingga akhirnya mampu menambah lahan menjadi tiga hektare.
Kehidupannya berubah pada 2018 saat bergabung dengan KPUD Lestari dan memperoleh sertifikasi RSPO. Hasil panen meningkat, pendapatan bertambah, dan ia bisa menyekolahkan ketiga anaknya.
“Sejak ikut sertifikasi RSPO, saya bisa membeli lahan tambahan untuk memperkuat penghidupan keluarga,” tuturnya dengan rasa bangga.
Selain mengandalkan hasil sawit, Bu Nur bersama komunitas perempuannya membentuk kelompok Carli (Pencari Lidi) Angels.
Dari pelepah sawit, mereka membuat sapu dan kerajinan tangan. Aktivitas ini memberi tambahan penghasilan sekaligus memperkuat peran perempuan sawit sebagai penopang ekonomi rumah tangga.
“Bagi kami, sawit adalah kehidupan. Kami akan terus merawatnya dengan sekuat tenaga,” ujarnya dengan mata berbinar.
Kisah Bu Nur tak terhenti sampai di sana.
Tidak tanggung-tanggung, ia pernah
bikin gempar panggung internasional karena suaranya menggema di Brussel, London, hingga Roma melawan regulasi EUDR.
Ini berawal September 2025, saat Bu Nur dipilih sebagai salah satu dari sembilan delegasi perempuan Indonesia yang diberangkatkan ke Brussel, London, dan Roma.
Kehadirannya bukan sekadar simbol, melainkan representasi nyata suara petani kecil yang khawatir akan aturan baru Uni Eropa, EU Deforestation Regulation (EUDR).
“Kalau sawit tidak laku, perempuanlah yang paling berat menanggungnya. Kami yang harus memastikan dapur tetap berasap, anak-anak tetap sekolah, dan kebutuhan keluarga terpenuhi,” ucapnya penuh penekanan.
Sebagai anggota Komite Gender KPUD Lestari, Bu Nur aktif mendorong praktik sawit berkelanjutan. Ia bersama kelompoknya menggunakan pupuk organik dari kotoran ternak, menjaga sungai dari pencemaran, serta menolak melibatkan anak-anak atau ibu hamil dalam pekerjaan kebun.
Namun perjuangan ini berpotensi sia-sia jika sertifikasi RSPO tidak diakui dalam kerangka EUDR. “Ikut sertifikasi itu sulit dan mahal. Kami hanya ingin usaha kami dihargai,” katanya di salah satu sesi diskusi di London.
Kehadiran Bu Nur di forum internasional menjadi pengingat bahwa di balik angka-angka besar ekspor CPO, ada kisah sederhana petani kecil yang berjuang.
Mereka tidak menolak keberlanjutan, hanya berharap aturan dijalankan dengan adil dan bertahap agar tidak menyingkirkan penghidupan masyarakat desa.
Bu Nur mungkin hanya seorang petani dengan tiga hektare kebun. Namun dari Simalungun, suaranya kini menggema hingga ke Brussel, membawa pesan sederhana: keberlanjutan sejati harus berpihak juga pada petani kecil.***