
Ilustrasi petani memanen sawit. Foto: Foto: bpdp
Pekanbaru, myelaeis.com - Penyuluh Pajak pada Kanwil DJP Riau, Tri Rizki M,
mengatakan kepatuhan pajak bagi pekebun sawit bukan hanya soal kewajiban hukum, tapi juga memberi kepastian usaha.
“Dengan memahami kewajiban pajak sejak awal hingga panen, pekebun bisa menjalankan usaha lebih tertib dan transparan. Ini juga bentuk kontribusi nyata bagi penerimaan negara,” paparnya
Tapi, apakah sudah tahu bahwa pajak sawit rakyat sudah berlaku sejak awal usaha, bukan hanya saat panen? Dari lahan, bibit, hingga penjualan, kepatuhan pajak jadi penopang usaha.
Kelapa sawit tak hanya menjadi komoditas andalan ekspor, tapi juga penopang ekonomi jutaan keluarga petani di Indonesia. Dari total 15,93 juta hektare luas perkebunan sawit nasional, sebanyak 42,29% dikelola oleh pekebun rakyat.
Angka ini menunjukkan posisi mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian penting dari rantai industri sawit nasional.
Namun, di balik potensi besar tersebut, ada satu hal yang kerap luput dari perhatian: kewajiban perpajakan.
Tri menegaskan bahwa pajak bagi pekebun sawit rakyat sudah ada sejak awal siklus usaha, bukan hanya saat panen.
“Banyak yang berpikir pajak hanya berlaku ketika kebun menghasilkan. Padahal, sejak tahap perolehan lahan hingga penjualan Tandan Buah Segar (TBS), ada kewajiban yang harus dipenuhi,” ujar Tri, Senin (22/9).
Sejak awal, pekebun wajib membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) ketika memperoleh lahan. Setelah itu, setiap tahun ada kewajiban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkebunan.
Bahkan, ketika memasuki fase pembibitan, jika menggunakan tenaga kerja atau jasa pihak ketiga, sudah berlaku pemotongan PPh Pasal 21 untuk tenaga kerja dan PPh Pasal 23 bagi jasa.
“Artinya, meski kebun belum menghasilkan, kewajiban pajak sudah ada sejak awal,” jelas Tri.
Pada tahap pemeliharaan, ketika pekebun menggunakan jasa pihak ketiga seperti penyemprotan atau perawatan, pembayaran jasa tersebut wajib dipotong PPh Pasal 23. Sementara jika membeli barang atau jasa dari Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka harga sudah termasuk PPN.
Memasuki panen, bila pekerja dibayar langsung, pekebun wajib memotong PPh Pasal 21 atas upah yang dibayarkan. Jika panen dilakukan oleh pihak ketiga, maka berlaku pemotongan PPh Pasal 23, kecuali bagi pihak yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB).
Hasil penjualan TBS juga tidak luput dari kewajiban. Bila transaksi dilakukan dengan pabrik pengolahan atau eksportir yang ditunjuk, maka dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga jual (tidak termasuk PPN).
“Bagi pekebun yang sudah berstatus PKP, ada kewajiban tambahan berupa PPN 1,1% dari harga jual TBS, dengan syarat sudah mendapat persetujuan dari kantor pajak,” tambah Tri.
Adapun pekebun yang berbentuk badan usaha akan dikenakan tarif umum PPh Badan, sedangkan pekebun dengan omzet tertentu bisa menggunakan skema PPh Final 0,5% dari omzet sesuai PP 55/2022.***