https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Bisnis

SPKS: Dikelola Pemerintah, Membuat Independensi ISPO Diragukan

SPKS: Dikelola Pemerintah, Membuat Independensi ISPO Diragukan

Ilustrasi ekspor CPO. Foto: bpdp.or.id

Jakarta, myelaeis.com - "Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dianggap belum setara dengan standar internasional seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), terutama dalam aspek audit independen dan keterlibatan banyak pihak."

Pernyataan itu disampaikan Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, kepada media, Jumat (19/9), menyoal kendala yang dihadapi ISPO

Seperti diketahui, hingga saat ini ISPO masih juga belum diakui oleh Uni Eropa. (UE). Malah ISPO seakan kalah dengan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) yang justru telah mendapat pengakuan dari Uni Eropa.

Menurut Darto, status ISPO yang dikelola pemerintah membuat independensinya diragukan karena dekat dengan kepentingan penyelenggara negara. Keraguannya yakni mengarah pada sistem pengawasan, sanksi dan transparansi data publik.

Lanjutnya, ISPO terutama dalam aspek sosial, mekanisme perlindungannya masih lemah. Bakan juga salam perlindungan hak masyarakat adat dan penyelesaian konflik. Padahal kriteria ini jadi salah satu fokus utama Uni Eropa pada EUDR. 

“Konflik agraria di sektor perkebunan masih banyak terjadi. Lalu Free, Prior and Informed Consent (FPIC) juga tidak berjalan. Lalu mekanisme pengaduan juga tidak transparan," ujarnya. 

Meski begitu, Darto menilai peluang masih terbuka untuk sawit indonesia bersaing di pasar Eropa. Eskpor masih bisa ditembus dengan melakukan kepatuhan terhadap EUDR melalui pemetaan spasial (polygon mapping), dokumentasi legalitas lahan, serta bukti bebas deforestasi, meski tanpa pengakuan ISPO.

Selain itu, ISPO juga bisa dikombinasikan dengan sertifikasi lain seperti RSPO, atau diperkuat dengan sistem ketertelusuran digital yang saat ini sedang dibangun pemerintah untuk registrasi petani kecil. 

“Diplomasi dagang juga krusial, terutama dalam kerangka Indonesia–EU CEPA. Tetapi lobi harus jujur, sesuai kondisi di lapangan,” jelasnya.

Darto juga mengatakan ada sejumlah aspek yang harus segera dibenahi. Yakni dari sisi transparansi audit, integrasi data spasial petani kecil, perlindungan hak-hak sosial, hingga inklusivitas sertifikasi agar tak hanya menguntungkan perusahaan besar. Ia juga menekankan pentingnya dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) untuk pemetaan lahan serta akses pasar petani kecil ke pembeli Eropa.

“Perusahaan juga harus transparan dalam rantai pasok dan melibatkan petani. Berapa persen perusahaan yang melibatkan petani dalam penjualan ke Eropa melalui EUDR harus dikontrol pemerintah. Perusahaan tidak boleh singkirkan petani,” pungkasnya.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS