Berita > Inovasi
Diversifikasi Biofuel Sangat Penting, Tanaman Ini Bisa Menjadi Alternatif Setelah Sawit

Pongamia pinnata atau malapari. Foto: natureace.id
Jakarta, myelaeis.com - Selama dua dekade terakhir, kelapa sawit menjadi tulang punggung energi nabati Indonesia melalui program biodiesel.
Namun kini, seiring transisi menuju energi hijau, muncul kandidat baru yang kian mencuri perhatian, yaitu pongamia pinnata atau malapari.
Di Indonesia, Pongamia pinnata dikenal dengan beragam nama lokal sesuai daerahnya. Dalam bahasa Melayu disebut malapari, atau kacang kayu laut. Masyarakat Sunda mengenalnya sebagai ki pahang atau ki pahang laut, sementara orang Jawa menyebutnya bangkong atau kepik.
Di Madura tanaman ini populer dengan nama kranji, sedangkan di Bali dikenal sebagai butis. Di Papua, pohon ini dipanggil sikam; masyarakat Alor menyebutnya berah; dan di Ambon dikenal dengan sebutan sawali, awakal, atau wawakal.
Tidak berhenti di situ, di Maluku, Pongamia punya sebutan khas seperti hate hira (Ternate), liada (Seram), dan marauwen (Minahasa).
Tanaman leguminosa ini dipandang sebagai sumber biodiesel generasi kedua yang berpotensi melengkapi dominasi sawit di Indonesia.
Berbeda dengan sawit yang membutuhkan lahan subur, Pongamia justru bisa tumbuh di lahan kritis, tandus, bahkan yang terpapar salinitas tinggi. Kemampuan akarnya mengikat nitrogen pun memberi nilai tambah karena dapat memperbaiki kesuburan tanah.
Menurut laporan A Technical and Economic Appraisal of Pongamia pinnata in Northern Australia, Pongamia memiliki manfaat ganda: mengurangi emisi gas rumah kaca, menyerap karbon, sekaligus memberikan keuntungan ekonomi jangka panjang.
“Diversifikasi biofuel sangat penting bagi Indonesia. Pongamia bisa menjadi pelengkap sawit, terutama di sektor transportasi jarak jauh, pertambangan, hingga penerbangan yang masih bergantung pada bahan bakar cair,” kata Dadang Gusyana, Agronomist Consultant di Agriconsulting Europe S.A.
Hal ini sejalan dengan laporan International Energy Agency (IEA) Net Zero by 2050, yang menekankan peran biofuel canggih dalam mendukung transisi energi global.
Dari sisi produktivitas, Pongamia menghasilkan sekitar 3 ton minyak per hektare setiap tahun. Angka ini memang masih di bawah sawit yang mampu mencapai 4–5 ton per hektare.
Namun, jika ditambah pemanfaatan biomassa lain seperti kulit polong dan limbah biji, total energi yang dihasilkan Pongamia bisa menyaingi sawit.
Selain minyak, bungkil Pongamia berpotensi dijadikan pakan ternak yang dapat menekan emisi metana, sementara kulit polongnya bisa diolah menjadi biomassa energi. Nilai tambah ini memberi dimensi baru yang membuat Pongamia disebut sebagai tanaman multi-manfaat.
Meski disebut sebagai tanaman bioenergi masa depan, Pongamia bukanlah pesaing sawit. Produksi sawit tetap jauh lebih besar dan sudah mapan dalam program B35 menuju B40.
Kehadiran Pongamia lebih tepat diposisikan sebagai pelengkap strategis, khususnya di lahan marginal yang tidak cocok bagi sawit maupun tanaman pangan.
Dengan kombinasi sawit dan Pongamia, Indonesia berpeluang memperkuat ketahanan energi hijau, sekaligus mendukung target nol emisi karbon pada 2060.
Pengembangan Pongamia kini mulai dilirik berbagai pihak. Selain ramah lingkungan, tanaman ini juga menjanjikan return on investment menarik, dengan studi di Australia Utara mencatat IRR hingga 15 persen.
Bila dikembangkan secara serius, Pongamia bisa menjadi mitra strategis sawit dalam membangun ekosistem biodiesel generasi kedua yang tidak hanya efisien, tetapi juga berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologis.***