https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Bisnis

Soal Gangguan Perdagangan Sawit ke UE, Maruli Gultom: Tidak Terlalu Berarti, Hanya Menyumbang Sekitar 5 Persen

Soal Gangguan Perdagangan Sawit ke UE, Maruli Gultom: Tidak Terlalu Berarti, Hanya Menyumbang Sekitar 5 Persen

Ilustrasi ekspor CPO. Foto: riau.go.id

Jakarta, myelaeis.com -  “CPO Indonesia dianggap ‘mengancam’ produk minyak nabati Eropa seperti rapeseed dan kedelai. Tudingan soal deforestasi itu lebih banyak bungkus saja, intinya mereka takut kehilangan pasar."

Pernyataan itu disampaikan Pembina GAPKI 2008–2023 sekaligus Komisaris Independen PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG), Maruli Gultom, Sabtu (6/9).
menyoal berbagai hambatan dalam perdagangan produk sawit Indonesia di pasar Uni Eropa (UE).

Sengketa dagang produk sawit Indonesia di pasar Uni Eropa kembali disorot mulai dari isu biodiesel hingga penerapan EU Deforestation Regulation (EUDR) yang akan berlaku pada Desember 2025. 

Maruli menegaskan, gangguan Eropa sebenarnya tidak terlalu berarti bagi industri sawit nasional. Pasalnya, ekspor ke Uni Eropa hanya menyumbang sekitar 5% dari total ekspor sawit Indonesia.

“Pasar utama kita itu India dan China, dengan permintaan yang terus tumbuh. Sejarahnya, tidak pernah ada masalah ekspor ke sana. Jadi kalau Eropa ribut, dampaknya tidak besar,” ujarnya.

Lebih jauh, Maruli menceritakan pengalamannya berbicara di Inggris sekitar 2006–2007. Saat itu, ia menanggapi tudingan deforestasi dengan menunjukkan fakta bahwa hutan alam di Eropa sudah lama habis.

“Di seluruh United Kingdom (UK) tidak ada natural forest lagi. Daratan Eropa juga sama. Jadi nggak usah jauh-jauh komplain ke Indonesia. Rapeseed, jagung, kedelai itu dulunya hutan juga, sekarang jadi ladang,” ungkapnya.

Ia menambahkan, menurut kriteria PBB, kelapa sawit termasuk setara dengan hutan sekunder. Banyak lahan kritis dan tanah gersang di Indonesia justru kembali hijau setelah ditanami sawit. 

“Itu malah menghutankan kembali,” imbuhnya.

Jika isu Eropa tak terlalu signifikan, Maruli justru menyoroti kebijakan dalam negeri yang kerap menghambat perkembangan industri sawit. Menurutnya, pengusaha sawit hanya berharap pemerintah tidak terlalu banyak membuat aturan yang mengganggu.

“Industri sawit ini tidak usah dibantu pun bisa maju, asal jangan diganggu. Itu sudah berlaku sejak dulu. Tapi sekarang malah sering muncul aturan yang melelahkan,” katanya.

Contoh nyata, lanjut Maruli, adalah kebijakan subsidi biodiesel. Ia menilai, secara tidak langsung, petani kecil ikut menanggung subsidi untuk masyarakat luas, termasuk pemilik mobil diesel. Padahal, 41% produksi sawit nasional berasal dari petani rakyat, sisanya dari perusahaan besar dan BUMN.

“Jadi sadar nggak sadar, orang kaya di Indonesia itu disubsidi oleh petani kecil sawit. Fair nggak? Ya jelas nggak,” ujarnya.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS