https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Bisnis

Blunder Fatal, Moratorium Sawit Bisa Menggerus Posisi Indonesia sebagai Eksportir Utama CPO Dunia

Blunder Fatal, Moratorium Sawit Bisa Menggerus Posisi Indonesia sebagai Eksportir Utama CPO Dunia

Ilustrasi perkebunan sawit. Foto: aprobi.co.id

Jakarta, myelaeis.com - Pengusaha sawit nasional Maruli Gultom menilai kebijakan moratorium perkebunan kelapa sawit  kontraproduktif dengan kebutuhan global. 

Pasalnya, menurut Maruli, permintaan minyak sawit terus merangkak naik seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan daya beli masyarakat dunia.

“Kalau kebijakannya malah melarang penanaman baru, ya bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan itu? Itu yang jadi masalah,” tegas Maruli dalam keterangan yang diterima redaksi, Sabtu (6/9).

Menurutnya, moratorium sawit berpotensi menjadi blunder fatal. Jika Indonesia membatasi diri di saat pasar global semakin terbuka, negara-negara produsen lain bisa mengambil kesempatan emas itu.

Akibatnya, posisi Indonesia sebagai eksportir utama crude palm oil (CPO) bisa tergerus secara perlahan.

Jika moratorium dibiarkan berlarut-larut, dampaknya bukan hanya bagi petani dan perusahaan, tetapi juga bagi ekonomi nasional. Industri sawit menyumbang devisa lebih dari Rp500 triliun per tahun dan menjadi tumpuan jutaan rumah tangga di pedesaan.

“Bayangkan kalau produksi kita stagnan, sementara permintaan terus naik. Negara lain seperti Malaysia, Thailand, bahkan produsen baru di Afrika bisa masuk merebut pasar. Indonesia akan kehilangan momentum dan bisa kehilangan pangsa pasar dunia,” kata Maruli.

Meski dihantam isu lingkungan dan tekanan regulasi, Maruli yakin industri sawit Indonesia tidak akan mudah tumbang. Sebaliknya, ia melihat peluang pertumbuhan masih terbuka lebar. Alasannya sederhana: kelapa sawit terbukti lebih efisien dibanding minyak nabati lain.

“Produktivitas lahan sawit jauh lebih tinggi. Luas rapeseed dan kedelai di dunia itu 20 kali lipat sawit. Kalau mau bicara deforestasi, mereka yang harusnya sadar diri. Indonesia masih punya tutupan hutan nomor tiga dunia,” ujarnya.

Data yang ia sebutkan seolah menampar balik narasi lingkungan yang kerap dilemparkan Uni Eropa. Menurut Maruli, isu deforestasi hanyalah kedok untuk menutupi kepentingan besar minyak nabati Eropa yang kalah saing dari CPO Indonesia.

Bagi Maruli, bukan berarti isu lingkungan diabaikan. Justru, menurutnya, solusi harus dicari lewat penguatan regulasi pengelolaan lahan dan peningkatan produktivitas sawit rakyat, bukan dengan melarang penanaman baru.

“Kalau ada masalah lingkungan, benahi tata kelolanya, perketat aturan, dorong produktivitas. Jangan malah mematikan ekspansi yang legal dan terukur. Itu sama saja kita memberi karpet merah pada pesaing,” tutupnya.

Kini, bola ada di tangan pemerintah. Apakah tetap bersikeras mempertahankan moratorium atau meninjau ulang kebijakan yang dinilai banyak pihak bisa menjadi blunder fatal. 

Sebab, jika salah langkah, Indonesia bukan hanya kehilangan lahan baru, tapi juga bisa kehilangan pasar dunia yang sudah susah payah diraih selama puluhan tahun.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS