https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Pakar Ini Sebut Penerapan Perpres Nomor 5/2025 Menimbulkan Kebingungan dan Polemik di Lapangan

Pakar Ini Sebut Penerapan Perpres Nomor 5/2025 Menimbulkan Kebingungan dan Polemik di Lapangan

Ilustrasi penertiban kawasan hutan oleh Stages PKH. Foto: Dok. Elaeis

Medan, myelaeis.com - Dewan Pakar Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Sadono menilai
penerapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan menimbulkan kebingungan dan polemik di lapangan.

Menurutnya, meski perusahaan memiliki HGU resmi, Satgas PKH tetap menganggap sebagian lahan sebagai kawasan hutan berdasarkan peta lama Kementerian Kehutanan. 

“Satgas di lapangan kadang tidak melihat legalitas HGU. Mereka tetap mengklaim lahan sebagai kawasan hutan,” jelas Sadino dalam Focus Group Discussion Gapki Sumut.

Kondisi ini berpotensi menekan kinerja industri sawit, sektor yang menjadi andalan ekonomi Sumut dan berkontribusi signifikan pada perekonomian nasional. 

Seperti diketahui, industri kelapa sawit di Sumatera Utara (Sumut) tengah menghadapi tantangan serius akibat penerapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. 

Banyak lahan sawit yang sudah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) justru diklaim masuk kawasan hutan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), menimbulkan ketidakpastian hukum bagi petani dan perusahaan.

“Satgas di lapangan kadang tidak melihat legalitas HGU. Mereka tetap mengklaim lahan sebagai kawasan hutan,” jelas Sadino dalam Focus Group Discussion Gapki Sumut.

Kondisi ini berpotensi menekan kinerja industri sawit, sektor yang menjadi andalan ekonomi Sumut dan berkontribusi signifikan pada perekonomian nasional. 

Banyak pelaku usaha menghadapi risiko penyitaan lahan, padahal sebagian besar telah mengantongi sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang diverifikasi lintas kementerian.

Perpres 5/2025 sendiri diterbitkan untuk mempercepat tata kelola lahan di kawasan hutan, sebagai bagian dari pelaksanaan UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. 

Aturan ini mengatur prosedur penertiban lahan, mulai dari penagihan denda administratif hingga penguasaan kembali kawasan hutan. 

Namun, Sadino menekankan bahwa Satgas PKH lebih banyak bertindak berdasarkan SK penunjukan kawasan hutan, bukan prosedur pengukuhan kawasan hutan sesuai UU No 41/1999 tentang Kehutanan.

Akibatnya, sertifikat HGU yang menjadi bukti legalitas utama perusahaan sering tidak diakui Satgas. Padahal, HGU adalah dokumen penting untuk mendapatkan ISPO dan meyakinkan pihak internasional akan legalitas produksi sawit Indonesia. 

“Banyak perusahaan yang lahannya dicatat dalam SK Kementerian Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025, padahal sudah memiliki ISPO,” ujar Sadino.

Para pelaku usaha sawit menyebut kebijakan ini berpotensi mengganggu stabilitas industri, investasi, dan ketahanan pangan. 

Sektor sawit yang menjadi tumpuan ekonomi petani dan perusahaan kini berada di persimpangan hukum yang merugikan, apalagi saat permintaan global tetap tinggi.

Pengamat perkebunan ini menekankan pentingnya keseimbangan antara penertiban kawasan hutan dan kepastian hukum bagi pemegang HGU. 

Jika HGU diabaikan, tidak hanya industri sawit yang terganggu, tetapi juga hak petani rakyat yang telah mengelola lahan bertahun-tahun.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS