https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Petani

Pilu Petani Sawit Rakyat di Sumut: Lahan yang Ditanam Sejak 1995 Mendadak Dikategorikan Masuk Kawasan Hutan

Pilu Petani Sawit Rakyat di Sumut: Lahan yang Ditanam Sejak 1995 Mendadak Dikategorikan Masuk Kawasan Hutan

Ilustrasi petani sawit di Sumut. Foto: spks.or.id

Medan, myelaeis.com - Sama dengan di sejumlah  daerah lainnya di Indonesia, sejumlah petani sawit di Provinsi Sinatra Utara (Sumut) juga sedang menghadapi masalah.
.
Parabuhan Hasibuan, Kepala Desa Ujung Gading Julu sekaligus pekebun sawit, mengungkapkan dilema yang dihadapinya selama hampir tiga dekade. 

Lahan seluas 4,5 hektare yang ia tanam sejak 1995 kini secara mendadak dikategorikan masuk kawasan hutan, memicu ketidakpastian bagi petani yang mengandalkan sawit sebagai sumber penghidupan utama.

Parabuhan menekankan bahwa desa dan kebun sawit mereka telah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Namun, keputusan baru yang menempatkan kebun sawit rakyat sebagai bagian dari kawasan hutan menimbulkan kebingungan dan ketidakadilan. 

"Desa kami sudah ada sejak dulu, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Tapi sekarang, kebun sawit yang sudah kami tanam sejak 1995 malah disebut masuk kawasan hutan. Inilah masalah yang kami hadapi," ujarnya, Jumat (5/9).

Parabuhan menyoroti inkonsistensi Satgas Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Satgas PKH) dalam menerapkan aturan yang berlaku.

Ia mengutip beberapa pasal penting dalam UU Perusakan Hutan, yakni pasal 12A, 17A, dan 110B, yang seharusnya memberikan pengecualian bagi masyarakat yang mengelola lahan di bawah lima hektare secara terus-menerus lebih dari lima tahun. 

"Mereka tidak mau melihat aturan itu. Bahkan lahan yang hanya satu atau dua hektare pun tetap dipermasalahkan. Akibatnya, masyarakat merasa dizalimi," tegasnya.

Masalah semakin rumit ketika lahan masyarakat yang disita justru dialihkan kepada perusahaan besar. Parabuhan mencontohkan kasus PT Agrinas Palma Nusantara, yang menurutnya mendapat keuntungan sementara petani kecil dirugikan.

"Kalau Satgas PKH sudah turun, kebun 1 hektare, 2 hektare, 3 hektare milik rakyat bisa langsung diambil. Sementara perusahaan besar malah diuntungkan. Ini sangat tidak adil," keluhnya.

Kepala desa ini pun berharap agar Mahkamah Konstitusi (MK) segera memberikan putusan yang benar-benar melindungi masyarakat kecil.

Ia menegaskan bahwa pengecualian bagi petani sawit rakyat harus dijalankan secara nyata, tanpa syarat yang berbelit dan manipulatif. 

"Harapan kami, mewakili masyarakat di Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan daerah lain, jangan sampai aturan di depan memberi pengecualian, tapi di belakang ditambah lagi syarat penataan kawasan hutan. Kami ingin keadilan yang sesungguhnya," katanya.

Fenomena sengketa lahan sawit ini bukan kasus yang jarang terjadi. Banyak pekebun rakyat di Sumatera Utara dan daerah lain menghadapi risiko serupa, di mana kebun yang telah dirawat puluhan tahun tiba-tiba dikategorikan sebagai kawasan hutan. 

Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum, mengancam mata pencaharian petani, dan bahkan menimbulkan konflik sosial di tingkat desa.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS