https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Penertiban Kawasan Hutan Upaya Pemerintah Mendukung Pembangunan Jangka Panjang Berkelanjutan

Penertiban Kawasan Hutan Upaya Pemerintah Mendukung Pembangunan Jangka Panjang Berkelanjutan

Ilustrasi penertiban kawasan hutan oleh Satgas PKH. Foto: Ist.

Pekanbaru, myelaeis.com - Pengamat Ekonomi Universitas Riau, Dahlan Tampubolon, melihat penertiban kawasan hutan yang dilakukan Satgas PKH merupakan upaya pemerintah dalam mendukung pembangunan jangka panjang berkelanjutan. Tentu komitmen itu tidak lepas dari berbagai manfaat ekonomi yang ditimbulkan. 

"Dari sisi manfaat ekonomi, penertiban hutan oleh Satgas PKH adalah investasi jangka panjang menuju pembangunan berkelanjutan,"  terangnya, Selasa (2/9).

Pertama, dari kacamata Dahlan ini adalah peningkatan nilai keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem. Hutan yang pulih akan mampu menyediakan air bersih, udara bersih, dan mencegah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, yang secara ekonomi jauh lebih murah daripada upaya rehabilitasi pasca-bencana.

Kemudian, penegakan hukum terhadap praktik ilegal, termasuk pemalsuan SKT dan keterlibatan oknum pejabat, akan menciptakan iklim investasi yang lebih adil dan transparan. 

"Ini seperti yang diungkapkan oleh Douglass North (1990) dalam teorinya tentang institusi, institusi yang kuat dan penegakan hukum yang konsisten adalah fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan adil. Ini mencegah 'ekonomi bayangan' yang merugikan negara dan masyarakat secara luas," sambungnya.

Kemudian yang ketiga, penindakan yang terjadi seperti di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) menurutnya akan menjadi proyek percontohan nasional yang akan memberikan efek jera dan pembelajaran bagi kawasan hutan lainnya.

Pencegahan perambahan di masa depan akan melindungi potensi ekonomi dari ekowisata, riset ilmiah, dan pengembangan hasil hutan non-kayu yang berkelanjutan.

Pendekatan ini, kata Dahlan, sangat selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Secara langsung, tindakan ini mendukung SDG 15 yaitu kehidupan di darat, dengan target konservasi, pemulihan, dan penggunaan berkelanjutan ekosistem darat, serta penghentian deforestasi. Hutan adalah paru-paru dunia dan habitat bagi spesies yang keberadaannya krusial bagi keseimbangan ekosistem global.

Selain itu, upaya ini berkontribusi pada SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim, karena hutan berperan sebagai penyerap karbon alami, serta SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Kuat, melalui pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang adil. Sinergi lintas lembaga yang ditunjukkan oleh Satgas PKH juga merupakan manifestasi dari SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan, menunjukkan bahwa masalah kompleks ini membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak.

Kendati begitu menurut Dahlan, muncul kompleksitas ketika dilihat kerugian ekonomi dalam jangka pendek. Kebijakan "pendekatan manusiawi" yang memberikan waktu relokasi mandiri dan memperbolehkan panen sawit yang sudah menghasilkan diatas 5 tahun adalah langkah bijak. Namun, tetap saja, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari perkebunan sawit ilegal akan menghadapi kehilangan mata pencarian dan pendapatan. 

"Kebun sawit di bawah lima tahun yang dianggap perambahan baru akan langsung dikembalikan ke fungsi hutan, menimbulkan kerugian investasi yang tidak sedikit bagi petani. Ini adalah titik sensitif yang dapat memicu gejolak sosial dan ekonomi," terangnya 

Situasi ini lanjut Dahlan, menantang komitmen terhadap SDG 1: Tanpa Kemiskinan dan SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi. Meskipun aktivitas ekonomi yang ilegal harus dihentikan, transisi yang tidak terencana dengan baik dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat lokal.

"Aspek ini sering menjadi fokus dalam literatur ekonomi pembangunan, yang menekankan pentingnya "just transition" atau transisi yang adil, di mana upaya konservasi tidak menciptakan kemiskinan baru," imbuhnya.

Merujuk Amartya Sen (1999) dalam karyanya tentang pembangunan sebagai kebebasan, Dahlan ikut mengingatkan bahwa pembangunan harus memperluas pilihan dan kapabilitas manusia, bukan membatasinya. Jika penertiban hutan justru membatasi pilihan ekonomi masyarakat tanpa memberikan alternatif yang layak, maka upaya tersebut perlu ditinjau ulang dari perspektif keadilan sosial.

"Produksi sawit, meskipun seringkali menjadi kambing hitam dalam isu deforestasi, sebenarnya adalah komoditas strategis bagi ekonomi Indonesia. Permasalahannya bukan pada sawit itu sendiri, melainkan pada praktik ilegal dan tidak berkelanjutan dalam pembukaan lahan untuk sawit," jelasnya.

Ketika produksi sawit dilakukan di kawasan konservasi, sawit tidak hanya ilegal tetapi juga merusak sumber daya alam yang seharusnya dilindungi. Deplesi sumber daya yang terjadi akibat perambahan hutan untuk sawit, misalnya hilangnya keanekaragaman hayati dan degradasi ekosistem, seringkali tidak dipertimbangkan dalam perhitungan keuntungan ekonomi jangka pendek dari produksi sawit. Ini menciptakan  ekonomi skala terbuka yang mengabaikan batasan ekologis planet ini.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS