https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Persona

Saat Tiwi "Diselamatkan" oleh Program Beasiswa Sawit BPDPKS

Saat Tiwi "Diselamatkan" oleh Program Beasiswa Sawit BPDPKS

Pratiwi Agustini sedang praktek memanen kelapa sawit. Foto: Dok. Pribadi

SAAT menyelesaikan pendidikan menengah di SMKN Mempura di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ) pada tahun 2024, Pratiwi Agustini sempat berpikir untuk menuntaskan pendidikan formalnya sampai di situ saja 

Dihadapkan dengan uang kuliah tunggal (UKT) yang mahal ketika itu, membuat Tiwi --panggilan akrab Pratiwi Agustini -- berpikir ulang untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang perguruan tinggi.

"Siapa sih yang tidak mau kuliah?" ujar Tiwi. Kendati memilih sekolah kejuruan untuk jenjang pendidikan menengah, yang sebenarnya "tidak wajib" untuk melanjutkan; tapi dalam hati kecilnya Tiwi tetap menginginkan pendidikannya tidak terputus sampai di situ saja.

Tapi, menurut Tiwi, manakala dihadapkan dengan UKT yang melambung tinggi kala itu, keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke universitas menjadi ambruk sampai ke titik terendah.

"Saya benar-benar patah arang," katanya, mengenang. Dijelaskan Tiwi, bisa saja ia merajuk ke orangtua untuk menguliahkannya, "Yang dicemaskan kalau kelak terputus di tengah jalan," bebernya.

Tapi, menurut Tiwi, pertimbangan yang lebih menonjol adalah karena ia tidak ingin terlalu membebani orangtuanya. Sementara memaksakan diri berkuliah di saat UKT sedang mahal, Tiwi nilai sesuatu yang tidak gampang untuk dipikul oleh orangtuanya. 

Ditambah lagi status Tiwi sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, di mana dua orang adiknya masih duduk di bangku sekolah menengah, menjadi beban moral tersendiri bagi gadis kelahiran tahun 2006 ini. 

Belum lagi, menurut Tiwi, tidak ada jaminan perkuliahan yang akan dijalani melalui jalur regular akan disambut oleh kesempatan kerja yang pasti. Kalau tidak, Tiwi mengibaratkan dengan "sudahlah terjatuh, eh, tertimpa tangga pula."

Kesimpulan Tiwi kala itu, kalau dirinya tetap ingin berkuliah, salah satu jalan adalah melalui jalur beasiswa, saat di mana tidak semua beban pembiayaan ditanggung secara penuh oleh para mahasiswa. 

Di tengah pergulatan pemikiran yang tidak mudah itu, Tiwi menerima informasi soal program beasiswa sawit yang didanai oleh Badan Pengelols Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) -- belakangan berubah nama menjadi Badan Pengelols Dana Perkebunan (BPDP). 

Informasi itu dinilai Tiwi sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya kala itu. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang sempat ia tutup, seakan terbuka kembali. 

Saat informasi tersebut disampaikan, kedua orangtua Tiwi menyambut dengan sangat antusias. Mereka menyatakan dukungan penuh kalau Tiwi memilih berkuliah melalui jalur tersebut. "Bahkan orangtua saya bernazar akan menyantuni anak yatim kalau saya lulus," kenangnya. 

Merujuk informasi yang diterima, menurut Tiwi, alangkah banyak kelapangan dan kemudahan bila dinyatakan lulus mengikuti program tersebut. "Soal pembiayaan, baik urusan kuliah ataupun biaya hidup, tidak lagi tergantung sama orangtua," jelasinya. 

"Kita kabarnya juga dikasih laptop," sambung Tiwi. Belum cukup sampai di sana, menurut Tiwi, para peserta program juga difasilitasi untuk mengikuti magang di perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. 

Yang lebih menggembirakan lagi, sambung Tiwi, ada peluang mendapatkan pekerjaan seusai menjalani masa pendidikan, terutama di perusahaan tempat menjalani magang. "Tentu setelah melalui proses dan memenuhi persyaratan tertentu," katanya. 

Pada akhirnya, Tiwi menindaklanjuti tekadnya dengan mendaftar ikut tes program beasiswa sawit dan memenuhi semua persyaratan administratif yang dibutuhkan. Nasib baik, Tiwi dinyatakan lulus. 

Begitu kabar gembira itu disampaikan, "Ibu menangis bahagia," kenang Tiwi. "Sama sekali tidak menyangka saya bisa lulus. Ayah juga merespons positif sambil memberi ucapan selamat," ulasnya. 

Sejumlah warga Desa Rengat, Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak, Provinsi Riau --tempat Tiwi dilahirkan dan dibesarkan-- juga bereaksi serupa. "Saya banyak mendapat ucapan selamat dari masyarakat," ujar Tiwi mengenang. 

Oleh penyelenggara program, sejak September tahun lalu Tiwi ditempatkan berkuliah di Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY) Prodi Pembibitan Kelapa Sawit untuk program diploma satu (D1). 

Mengelola Kebun Orangtua

Sudah berkuliah sekitar enam bulan di AKPY yang kampusnya berlokasi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ini Tiwi ingin cepat-cepat menyelesaikan program D1-nya di kampus tersebut. 

"Saya ingin kembali ke kampung halaman di Siak," ungkapnya. Yang terbersit dalam pikiran Tiwi adalah akan ikut secara langsung mengelola perkebunan sawit milik orangtuanya, berbekal ilmu yang ia timba selama berkuliah di AKPY. 

Di Siak, menurut Tiwi, orangtuanya punya kebun sawit seluas 1,5:hektar yang dibangun secara mandiri. Menurut Tiwi, kebun sawit itulah yang selama ini menjadi sandaran utama perekonomian keluarganya. 

Menurut Tiwi, karena modal dan keterampilan terbatas, kebun sawit milik orangtuanya itu masih agak jauh dari sentuhan teknologi modern sehingga hasilnya pun belum sampai ke titik maksimal. 

Tiwi berharap, berbekal ilmu yang ditimba selama berkuliah di AKPY, ia akan mencoba menerapkan sentuhan teknologi modern sebatas yang bisa ia lakukan. Tiwi optimistis mampu untuk itu. 

Tiwi juga tidak menutup kemungkinan untuk kembali ke bangku kuliah untuk mengambil program strata satu (S1).  "Akan diupayakan lagi dapat program beasiswa (untuk.melanjutkan ke S1)," ujarnya.***
 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS