Berita > Persona
Beasiswa Sawit BPDPKS Bukakan Wawasan Frans bahwa Berkuliah Tidak Selalu Harus dengan Biaya Sendiri

Frans Irfandi. Foto: Dok. Pribadi
PROGRAM beasiswa sawit yang didanai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) --belakangan berubah menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP)-- membukakan wawasan Frans Irfandi tentang banyak hal.
Yang menonjol, menurut Frans, ternyata kalau ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, tidak selalu harus dengan memakai biaya sendiri, yang berkemungkinan sulit dijangkau oleh sementara kalangan.
"Saya telah membuktikan sendiri melalui program beasiswa sawit yang didanai oleh BPDPKS," ujar Frans --panggilan akrabnya-- melalui sambungan telepon, Kamis (30/1/2025) siang. "Ternyata, selalu ada jalan bila ada kemauan," tambahnya.
Melalui program itu, sambung Frans, ia bisa menjalani perkuliahan dengan hampir tidak pernah membebani orangtua secara finansial. "Tugas saya hanya belajar dengan baik dan bersungguh-sungguh," sebutnya.
Yang lain, terutama biaya perkuliahan dan biaya hidup selama menuntut ilmu di perantauan, menurut Frans, tidak usah dipikirkan. "Penyelenggara program sudah menyediakan lebih dari cukup," tambahnya.
Karena semua faktor penunjang sudah tersedia lebih dari cukup, sambung Frans, tugas dia hanya tinggal totalitas memanfaatkan setiap perjalanan waktu untuk belajar dengan baik agar mendapatkan apa yang diharapkan.
Dan Frans, yang kini sudah duduk di semester VI Institut Pertanian Stiper (Instiper) Prodi Agroteknologi untuk program strata satu (S1), sudah melakukan itu dengan sepenuh hati, sesuai kemampuan yang ia miliki.
Dalam konteks ini, Frans hendak mengatakan bahwa anak-anak yang terlahir di tengah keluarga yang kurang mampu secara ekonomi jangan sampai berputus asa untuk tidak bisa mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Frans memastikan, saat ini cukup banyak terbuka peluang berkuliah dengan topangan beasiswa. "Untuk mencapai itu tentu saja menuntut kemauan yang kuat, baik dalam belajar maupun mencari informasi," sarannya.
Mengilas-balik ke belakang, Frans mengaku dulunya tidak tahu terlalu jauh soal program beasiswa sawit BPDPKS. Setelah menamatkan pendidikan menengah di SMA Dharma Pendidikan di Kecamatan Kempas, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Provinsi Riau, pada 2022, Frans sibuk mencari informasi soal lembaga pendidikan yang mencetak tenaga guru.
"Karena saya merasa berbakat menjadi guru," ujar pria yang berasal dari Desa Harapan Jaya, Kecamatan Tempuling, Kabupaten Inhil, Riau, ini. "Bahkan setelah tamat SMA saya membuka les belajar bagi anak-anak SD dan SMP di lingkungan tempat tinggal saya," kenangnya.
Karena memiliki rasa ingin tahu yang besar, menurut Frans, dari kegiatan bersilancar di internet, secara tidak sengaja ia menemukan program beasiswa yang khusus mempelajari ilmu perkelapasawitan.
"Sebelumnya saya juga sudah tahu juga tentang program tersebut, walau belum terlalu dalam," tambahnya. Tapi saat itu, menurut Frans, program pendidikan perkelapasawitan yang ia ketahui belum membuka program strata satu (S1).
Frans mulai tertarik untuk.mendalami ilmu tersebut karena, dari hasil pelacakannya yang terakhir, ia menemukan sudah ada lembaga pendidikan tinggi sawit yang membuka program S1.
Merasa tertarik, Frans mencari informasi lebih dalam lagi, dan belajar lebih banyak lagi tentang sawit. Hasil diskusi fengan orangtua juga memberi peluang dan dukungan terhadap langkah yang akan ditempuh Frans.
"Alhamdulillah, hanya sekali tes di tahun 2022 lalu, saya dinyatakan lulus," ungkapnya. Sejak 14 September 2022, Frans menjadi bagian dari civitas akademika Instiper yang berkampus di Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, itu.
Terbuka
Setelah enam bulan menjalani perkuliahan di Instiper, Frans mengalu ilmu, pengetahuan, dan wawasannya tentang perkelapasawitan sudah terbuka. "Ternyata ilmu soal sawit tidak dangkal, seperti yang saya kira selama ini," ungkapnya.
Kendati lahir di tengah keluarga petani sawit, dan desa tempat ia bermukim merupakan perkampungan sawit, tapi karena sejak lama menanam cita-cita untuk menjadi guru, menurut Frans, ia hampir tidak pernah memberi perhatian terhadap sawit.
"Yang terpikir selama ini soal sawit adalah komoditas yang menghasilkan minyak goreng," katanya. "Tidak lebih dari itu."
Tapi setelah berkuliah di Instiper, menurut Frans, soal apa itu sawit, apa fungsi dan kegunaannya, apa kontribusinya bagi negara, dan prospek tanaman itu ke depan, sudah mulai ia ketahui dan kuasai.
"Realitas ini mulai menimbulkan kecintaan saya pada sawit," katanya. Bahkan, lebih dari itu, "Harapan saya menjadikan sawit sebagai tanaman masa depan merupakan suatu hal yang tidak terlalu berlebihan," ungkapnya.
Sesuatu yang bisa diterima, memang. "Sebab, dibandingkan dengan sejumlah komoditas perkebunan lainnya, sawit memiliki sejumlah nilai lebih," katanya.
Tapi, menurut Frans, di tengah harapannya yang begitu besar terhadap kelapa sawit, ia mengaku prihatin dengan sejumlah realitas yang terjadi di perkebunan sawit milik rakyat, terutama yang diusahakan secara mandiri.
Frans menunjuk contoh program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang didanai oleh BPDPKS. "Saya melihat program itu bagus, tapi pada tataran pelaksanaan masih memerlukan sejumlah perbaikan," sebutnya.
Frans menunjuk contoh pelaksanaan PSR di kebun sawit milik rakyat di tanah kelahirannya, Inhil. "Saya pernah melihat PSR yang tidak tuntas dikerjakan," katanya. "Begitu usai penanaman, tanaman terkesan dibiarkan begitu saja," ulasnya.
Frans menilai, soyogianya tidak demikian, karena dalam kondisi seperti itu masih banyak kerawanan yang memungkinkan bibit sawit mati atau tidak tumbuh sebagaimana yang diharapkan.
Dalam konteks persoalan seperti itu, Frans memandang perlu diperkuat fungsi pendampingan. "Agar investasi yang sudah ditanam tidak terbuang percuma," sebutnya.
Terlebih lagi, menurut Frans, agar petani peserta program benar-benar mendapatkan tanaman baru yang berkualitas untuk menggantikan tanaman sawit lama yang tidak produktif lagi sebagai sumber ekonomi.***