Berita > Persona
Kisah Naila Kurnia: Bercita-cita Menjadi Penegak Hukum, Malah "Terdampar" ke Sekolah Sawit

Naila Kurnia berpose di depan kampus AKPY. Foto: Dok. Pribadi
NAILA Kurnia menilai dunia hukum di Indonesia belum berjalan pada koridor yang seharusnya. Sebagian aparat penegak hukum masih terjebak dalam sikap pragmatisme sehingga lebih mendahulukan kepentingan jangka pendek daripada menegakkan nilai-nilai yang seharusnya dijaga.
Akibatnya, menurut Naila --panggilan akrabnya-- masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya. "Sebagian besar mereka adalah adalah yang tidak beruntung secara finansial," ungkapnya.
Naila ingin mencoba mereduksi hal semacam itu kalau niatnya menjadi aparat penegak hukum mendapat tempat. "Seberapa kecil pun kontribusi yang bisa diberikan, yang jelas aku berniat berbuat sesuatu," ujarnya.
Kalau ketika memasuki jenjang pendidikan SMA dulu Naila memilih jurusan ilmu pengetahuan sosial (IPS), itu merupakan pijakan awalnya dalam upaya menggapai cita-cita untuk menjadi hakim.
Pada Maret 2024, informasi dari sang Ayah mampu mengubah sikap Naila soal proyeksi masa depannya. Saat itu ia sudah duduk di tahun terakhir mondok di sebuah pondok pesantren (ponpes) di Cianjur, Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Bukan mengarahkan, menurut Naila, saat itu sang Ayah menginformasikan tentang peluang ikut program beasiswa sawit, yang pendanaannya ditanggung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Informasi itu disampaikan sang Ayah kepada Naila bukan tanpa sebab. Terutama, dalam kapasitas sebagai kepala keluarga, sang Ayah selama ini menghidupi keluarganya dari tanaman kelapa sawit.
Selain memiliki kebun sawit milik pribadi, menurut Naila, sandaran utama perekonomian keluarganya adalah dari gaji sang Ayah, yang tercatat sebagai karyawan di PT Sinar Mas di Merangin, Jambi. "Ayah jadi mandor di sana," kata Naila.
Sehari-hari keluarga Naila bermukim di Desa Sungai Kipas, Kecamatan Bangko, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
"Karena kami dibesarkan oleh sawit, makanya Ayah menyampaikan informasi itu, mana tahu saya tertarik," ujar Naila, menduga-duga.
Naila pun dipagut bimbang. Pada satu sisi, ia membenarkan harapan sang Ayah agar dirinya mencoba mengadu peruntungan untuk ikut dalam program beasiswa sawit. Namanya saja program beasiswa, diyakini banyak keringanan di segi biaya.
Sementara pada sisi lain, ia sudah lama punya cita-cita sendiri yaitu menjadi aparat penegak hukum dengan memilih menjadi hakim.
Tapi, kalau mau menjadi hakim, pertimbangan Naila, ia harus mengikuti kuliah secara regular dengan memasuki perguruan tinggi umum. "Konsekuensi yang harus ditanggung tentu menyangkut pembiayaan," ungkap Naila.
Naila mencoba mencari jawaban dari kebimbangannya dengan mendirikan shalat Istikhorah. "Beberapa kali saya lakukan itu," kenangnya.
Sebelumnya Naila juga sempat curhat kepada orangtua --terutama Ayah-- terkait kebimbangan yang tengah menderanya. Tapi, menurut Naila, seperti sudah diduga, sang Ayah menyerahkan sepenuhnya keputusan tentang itu kepada Naila
Naila kemudian memutuskan ikut tes program beasiswa sawit yang didanai oleh BPDPKS. Untuk membekali dirinya dengan pengetahuan tentang perkelapasawitan, cukup lama Naila bersilancar di internet.
Setelah ikut tes, Naila mengaku ia dihadapkan dengan kecemasan, yaitu cemas tidak lulus. Maklum, kendati dilahirkan di tengah keluarga sawit, pengetahuan Naila tentang sawit sangat dangkal sekali.
Saking cemasnya, menurut Naila, pas pada hari pengumuman peserta yang dinyatakan lulus, Naila "menutup diri" dengan dunia luar. Ia mematikan HP dan sama sekali pada hari itu tidak membuka internet.
Informasi bahwa ia dinyatakan lulus program beasiswa sawit baru diterima Naila keesokan harinya. "Jam 07.00 saya disambangi seorang teman sambil mengabarkan bahwa saya dinyatakan lulus," ujarnya
Ketika Naila kemudian mengabarkan bahwa ia dinyatakan lulus program beasiswa sawit, "Ayah menangis haru," kenang Naila. "Benar-benar menangis," tambahnya.
Sambil bersujud di lantai, Naila menceritakan kalimat puji dan syukur tidak henti-hentinya keluar dari mulut sang Ayah. Ibu dan dua saudara Naila juga ikut bergembira menerima kabar tersebut.
Naila menduga sebuah cara penyambutan yang wajar atas keberhasilannya yang dilakukan oleh sang Ayah. Terutama tidak mudah untuk bisa lulus program tersebut, tapi puterinya telah membuktikan mampu untuk itu.
Penyebab lain, menurut Naila, ia menduga terkait biaya. Karena Naila merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, orangtuanya tentu bisa fokus melanjutkan pendidikan dua anak lainnya karena biaya pendidikan Naila sudah ada yang menanggung.
Berpeluang Diterima Bekerja
Optimisme Naila menyandarkan masa depan pada sawit semakin tinggi setelah sekitar lima bulan berkuliah di Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY) Jurusan Pemeliharaan Kelapa Sawit untuk program D1.
Selain mulai menyenangi sawit, termasuk juga segala macam tantangan yang ada di dalamnya, Naila mengaku sudah menampak sedikit pijakan untuk menyongsong masa depan dari disiplin ilmu yang menjadi pilihan hidupnya.
Menurut gadis kelahiran 12 Juli 2026 ini, pihak kampus tempat ia menunut ilmu sudah menjajaki kegiatan magang di sebuah perusahaan swasta nasional yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Pulau Kalimantan. "Dijadwalkan berangkat Mei nanti," ungkapnya.
Menurut Naila, bila dalam proses magang nanti ia dinilai memenuhi kriteria, bukan tidak mungkin akan langsung direkrut menjadi karyawati di perusahaan tersebut.
Berarti potensi Naila untuk berjarak semakin jauh dari orangtua, saudara-saudara dan tanah kelahirannya semakin terbuka? "Tidak masalah. Saya sudah biasa hal seperti itu, begitu juga orangtua dan saudara-saudara saya," ujarnya
"Untuk sesuatu yang baik, terkadang memang harus ada yang dikorbankan," ungkap Naila, bijak.***