
Eli Wahyuni Nasution dalam kegiatan lomba International Agricultural Technology Competition di Padang, Sumbar. Foto: Dok. Pribadi
SEMPAT berkuliah sekitar dua pekan di sebuah perguruan tinggi terkemuka di Medan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut); kalau kemudian Eli Wahyuni Nasution "banting stir" dengan pindah ke Institut Teknologi Sawit Indonesia (ITSI) di kota yang sama, tentu bukan tanpa alasan yang kuat.
"Pertimbangan saya terutama menyangkut prospek," ujar Eli --panggilan akrabnya-- melalui sambungan telepon, Jumat (17/1/2025). "Sektor sawit saya lihat memiliki prospek yang cerah ke depan," tambahnya
Ihwal sawit menjanjikan masa depan yang lebih baik dan terjamin, menurut Eli, bukan saja ia peroleh melalui sejumlah diskusi atau informasi dan literatur yang ia cari dan gali sendiri selama bertahun-tahun.
"Orangtua saya, terutama Bapak, berkali-kali meyakinkan saya bahwa dibandingkan dengan sejumlah bidang lain, menggeluti sawit merupakan pilihan terbaik untuk kondisi saat ini," kata anak ketiga dari empat bersaudara ini.
Maka, itulah yang terjadi beberapa tahun lalu. Saat awal berkuliah di sebuah perguruan tinggi terkemuka di Medan, Eli mendapat informasi soal penerimaan calon mahasiswa penerima beasiswa melalui program yang didanai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Mendapat informasi melalui Instigram, melalui jejaring sosial itu pula Eli mengumpulkan semua persyaratan --termasuk administratif-- untuk bisa ikut program tersebut.
"Alhamdulillah, hanya sekali mengikuti tes, saya langsung dinyatakan lulus," kenang Eli.
Mengabarkan capaian yang baru ia peroleh, tanpa berpikir panjang orangtua Eli mendorong puterinya untuk memilih program beasiswa sawit, dan meninggalkan kegiatan perkuliahan di bangku perguruan tinggi sebelumnya yang tergolong favorit itu.
Bukan cuma karena dorongan orangtua yang kuat, lebih memilih program beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi negeri juga karena dorongan dan tuntunan hati kecil Eli sendiri.
"Sejak di bangku SLTA saya sudah bertekad untuk berkuliah di universitas ternama di Tanah Air," ungkap alumnus SMA Unggulan CT Fondation Deli Serdang, Sumut, ini.
Selain berkuliah di universitas ternama, tekad Eli lainnya, yaitu berkuliah di perguruan tinggi dengan ditopang oleh program beasiswa. "Apa yang saya raih kala itu sesuai dengan tekad dan keinginan saya," bebernya.
"Bahkan mungkin lebih dari cukup," tambahnya. Selama berkuliah di ITSI Eli merasakan sendiri betapa sejumlah fasilitas dan bantuan yang ia terima dari penyelenggara program berada pada takaran yang lebih dari cukup.
"Sepertinya untuk urusan perkuliahan saya tidak perlu merengek lagi ke orangtua," ungkapnya. Kendati untuk itu, menurut Eli, ia harus dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh dari tempat menuntut ilmu dengan kampung halamannya.
Tapi, menurut Eli, di saat teknologi informasi sudah secanggih seperti sekarang ini, jarak tidak lagi menjadi penghambat untuk melakukan komunikasi dengan orang-orang terdekat. "Tinggal video call, rasa kangen pun terobati," ujar Eli
Kendati pun demikian, setidaknya sekali dua tahun, yaitu pada saat libur semesteran, Eli menyempatkan diri mudik ke kampung halamannya di Kabupaten Labuhanbatu.
Pada bagian lain, kendati soal biaya pendidikan tak pernah Eli dengar keluhan, tapi dari hati kecilnya Eli juga tidak ingin terlalu lama membebani orangtuanya secara finansial. "Kasihan mereka," ungkap Eli lagi.
Dan berdasarkan informasi yang ia peroleh dari berbagai sumber, Eli mengetahui betapa banyak fasilitas dan bantuan yang akan ia terima kalau memilih berkuliah melalui jalur program beasiswa sawit.
Sebagai tindak lanjut dari pilihan itu, Eli ditempatkan di ITSI Medan untuk Jurusan Agribisnis. Saat ini Eli sudah duduk di semester III. Tersisa waktu sekitar 2,5 tahun lagi bagi Eli untuk menyelesaikan pendidikannya karena ia mengambil program S1.
Telah menjalani perkuliahan selama tiga semester, Eli mengaku sudah banyak ilmu soal perkelapasawitan yang ia ketahui, baik dari sisi budidaya maupun manajemen.
Eli menunjuk contoh tentang kondisi tanaman kelapa sawit. Dijelaskan, kalau dulu saat melihat daun tanaman kelapa sawit berubah warna dari hijau menjadi kuning, "Saat itu saya menganggapnya biasa-biasa saja."
Tapi, tambah Eli, setelah menimba ilmu di ITSI, baru ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dari perubahan warna daun pelepah kelapa sawit itu. "Artinya, butuh penanganan sesuai dengan tuntunan ilmu perkebunan modern," ungkapnya
Sebab, menurut Eli, fenomena itu bukan sebatas terjadinya perubahan warna daun pelepah. "Bukan tidak mungkin punya dampak tidak baik, antara lain terjadinya penurunan produksi," sebut Eli lagi.
Dunia akademis, menurut Eli, juga mengajarkan kepadanya bagaimana tata kelola manajemen yang baik, mulai sejak rencana pembukaan kebun sampai komoditas yang dibudidayakan mengeluarkan hasil dan dipasarkan.
Keluarga Petani Sawit
Berkuliah di perguruan tinggi yang khusus mengajarkan ilmu perkelapasawitan, ITSI, Eli mengistilahkan perjalanan hidupnya --setidaknya untuk sampai saat ini-- dengan kalimat: dari sawit kembali ke sawit.
"Bapak saya menghidupi keluarganya dari tanaman kelapa sawit," ungkapnya. Sempat menjadi pemilik, belakangan Bapak Eli menetapkan pilihannya dengan menjadi pendodos kelapa sawit.
Keluarga Eli menetap di Desa Bandar Tinggi, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhanbatu, Sumut. "Itu perkampungan sawit," ujar Eli melukiskan. "Sejauh-jauh mata memandang di desa itu, yang tampak hanya tanaman kelapa sawit.'"
Memiliki waktu tempuh sekitar delapan jam perjalanan darat dari Medan, menurut Eli, hampir semua kebun sawit di desanya diusahakan dan dikelola sendiri oleh masyarakat secara mandiri. Baru sekitar 15 km dari desa itu terhampar areal perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta nasional.
Oleh realitas yang ada itu, tidak berlebihan bila Eli mengatakan, "Sejak lahir sampai sekarang saya sudah akrab dengan tanaman sawit."
Eli mengaku juga ikut menjadi saksi naik-turunnya kondisi perekonomian keluarganya yang semata digantungkan dari tanaman sawit. "Pernah juga menjalani masa-masa yang sangat berat," katanya, mengenang.
Tapi, secara umum perempuan kelahiran tahun 2005 ini mengklaim kondisi perekonomian keluarganya, yang semata bergantung dengan tanaman kelapa sawit, berada pada tingkat stabil.***