Gideon Parlindungan Sihombing berpose di depan kampus Polkam di Bangkinang. Foto: Dok. Pribadi
TIDAK satu jalan ke Roma, memang. Tidak pula terbatas cara untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Gideon Parlindungan Sihombing, misalnya, telah membuktikan hal tersebut.
Berbekal informasi dari spanduk yang dipajang di posisi strategis di desanya, yang membukakan jalan bagi Gideon untuk mengikuti program beasiswa sawit yang didanai oleh Badan Penyelenggara Dana Perkebunan Kelap Sawit (BPDPKS).
"Info dari spanduk itu memacu keinginanku untuk tahu lebih jauh soal program tersebut," ujar Gideon, mengenang peristiwa yang terjadi sekitar setahun lalu itu.
Beruntung, salah seorang saudaranya sudah terlebih dahulu tahu lebih dalam soal program dimaksud. Saudara itu pula yang membeberkan secara detail soal program beasiswa, termasuk nilai lebih yang akan diterima.
Pada saat bersamaan, Gideon sebenarnya juga sedang menjajaki kemungkinan untuk berkuliah di Politeknik Pertanian yang memiliki kampus di Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
Di antara dua pilihan, Gideon mengaku lebih cenderung untuk berkuliah melalui program beasiswa sawit. Mengutip saudaranya, menurut Gideon, banyak kelapangan kalau menjalani perkuliahan melalui jalur tersebut.
Gideon pun mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk mengikuti tes, termasuk mempersiapkan sejumlah persyaratan administratif yang diperlukan. Ia memancang tekad untuk lulus.
Nasib baik memihak Gideon. Hanya sekali ikut tes, ia pun dinyatakan lulus ikut program beasiswa sawit, untuk kemudian ditempatkan di Politeknik Kampar (Polkam) yang berkampus di Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
"Betapa senang dan bahagianya orang-orang terdekat saya, terutama Bapak dan Ibu, menerima kabar bahwa saya dinyatakan lulus program beasiswa," ungkap Gideon lagi.
Ihwal Gideon dinyatakan lulus program itu kabarnya cepat menyebar di lingkungan tempat tinggalnya d Desa Air Batu, Kecamatan Torgamba, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Praktis, nama Gideon terangkat dan menjadi buah bibir di desa itu, termasuk keluarganya. Jelas, Gideon merasakan kebahagiaan tersendiri dengan realitas yang baru dihadapi dan dijalaninya.
Terlepas dari konteks yang menyangkut kebanggaan moral, menurut Gideon, capaian yang baru diraih semakin melempangkan jalannya untuk mewujudkan keinginan berkuliah dengan tidak terlalu membebani orangtua.
Menurut Gideon, di desanya sang Bapak memang memiliki kebun kelapa sawit sebagai sumber ekonomi satu-satunya bagi keluarga tersebut. "Tidak terlalu luas, hanya sekitar satu heltar saja," ungkap Gideon.
Dalam kondisi penguasaan areal kebun yang tidak terlalu luas itu, menurut Gideon, dari sanalah kedua orangtua Gideon bersama enam anaknya menggantungkan sumber penghidupan, termasuk untuk membiayai pendidikan.
Selain areal terbatas, ditambahkan Gideon, pengelolaan kebun yang masih banyak menerapkan cara-cara konvensional juga berakibat perolehan hasil yang didapat belum maksimal.
Sadar dengan realitas yang ada di keluarganya, maka sudah sejak lama tertanam niat di hati Gideon suatu tekad untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi
"Tidak berkuliah di zaman seperti sekarang ini rasanya kita sangat ketinggalan," bebernya.
Tapi, di sisi lain, Gideon juga merasa tidak sampai hati kalau pilihan berkuliah yang akan dijalaninya sepenuhnya menggantungian semua sumber pembiayaan dari orangtuanya.
"Kasihan mereka, kendati sejatinya saya tidak pernah mendengar kedua orangtua mengeluhkan hal tersebut," tambahnya, mengenang.
Kesempatan Berharga
Telah duduk di semester V Polkam Jurusan Teknik Pengolahan Sawit untuk program D3, saat ini Gideon sudah mulai menyusun tugas akhir dan sebentar lagi, yaitu di semester VI, akan menjalani program magang.
Selama berkuliah di Negeri Lancang Kuning itu, Gideon mengaku hari-harinya hanya didekasikan sepenuhnya untuk mendapatkan apa yang diharapkan.
P"Ini kesempatan yang berharga dan sangat mahal," katanya. Gideon mengaku sejauh ini ia masih tetap berada di rel yang seharusnya, dan berusaha sekuat mungkin untuk terjauh dari aneka godaan negatif.
"Saya ke Kampar ini semata-mata menuntut ilmu, tidak ada tujuan lain, dan diharapkan ilmu itu akan jadi bekal berharga bagi masa depan saya," ungkapnya. Hal-hal yang akan mengganggu untuk mencapai tujuan, menurut Gideon, seoptimal mungkin berusaha untuk ia hindari.
Sebagai anak petani sawit, Gideon ingin kalau pun kelak ia akan mewarisi profesi yang digeluti oleh orangtuanya, tapi diharapkan punya nilai lebih sehingga usaha sawit yang ditekuni memberi nilai tambah ekonomi yang berarti.
Setelah dua semester berkuliah di Polkam, kesadaran dan pengetahuan Gideon semakin terbuka, yang kemudian menyeret pemikirannya untuk lari pada satu kesimpulan, yaitu tanaman kelapa sawit bisa diharapkan menjadi tumpuan masa depan.***




