Berita > Persona
Demi Sawit, Yogi Menguatkan Hati Dipisahkan oleh Jarak dengan Orang-orang yang Dicintai dan Mencintainya
Yogi Sepdu Dehiya (memegang microfon) dalam sebuah kegiatan lapangan. Foto: Dok. Pribadi
AKHIR 2022 merupakan saat yang paling berat bagi Yogi Sepdu Dehiya dalam rentang perjalanan hidupnya yang belum terlalu panjang. Yaitu, saat ia harus meninggalkan kampung halamannya di Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
"Saya sempat menangis," ujar Yogi --panggilan akrabnya-- mengenang kisah yang terjadi sekitar dua tahun lebih lalu itu.
Saat itu, Yogi harus meninggalkan kampung halamannya di Merangin, Jambi, untuk bertolak ke Kota Bangkinang, ibukota Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Dinyatakan lulus program beasiswa sawit yang didanai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Yogi bertolak ke Bangkinang untuk menjalani perkuliahan di Politeknik Kampar (Polkam) yang berkampus di kota itu.
"Seumur-umur baru kali itu saya harus berpisah dengan kedua orangtua dan dengan kedua saudara kandung yang sangat saya cintai," ujar anak ke-2 dari tiga bersaudara ini.
"Sepertinya saya benar-benar tidak kuat kala itu," tambah Yogi, sambil membayangkan betapa sulitnya ia akan menjalani hari-hari di tanah rantau, terpisah jauh dari orang-orang yang dicintai dan mencintainya.
Tapi, menurut Yogi, oleh karena pompaan semangat dari sang Ayah --termasuk dari Ibu dan kedua saudaranya--, ia mencoba untuk tegar dan tidak cengeng menghadapi kondisi seperti itu. "Kamu harus kuat," pesan sang Ayah.
"Ini kesempatan, dan peluang yang berharga itu jarang datang dua kali selama hidup," tambah sang Ayah lagi.
Ihwal "kesempatan emas jarang datang dua kali," seperti nasihat dari sang Ayah, benar-benar memberi spirit yang sangat bernilai bagi Yogi untuk melangkah tegar ke depan.
Yogi lalu mengilas balik jauh ke belakang, yaitu saat ia masih duduk di bangku SMP. di daerah kelahirannya. "Sejak duduk di bangku SMP saya sebenarnya sudah tertarik dengan tanaman kelapa sawit," kenangnya.
Ketertarikan Yogi dipicu oleh keputusan alih fungsi lahan yang dilakukan orangtuanya. Dijelaskan, dulu orangtuanya menanam karet di lahan yang dimiliki, yang menjadi sumber ekonomi satu-satunya bagi keluarga tersebut.
Orangtua Yogi kemudian memutuskan mengganti tanaman karet dengan sawit, seperti trend yang terjadi kala itu. "Sejak memiliki kebun sawit, saya melihat dan merasakan sendiri ekonomi keluarga kami berubah ke arah yang lebih baik," ungkapnya.
Selain memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi, menurut Yogi, keputusan alih fungsi lahan ke sawit merupakan pilihan yang paling tepat bila dihubungkan dengan tingkat usia orangtua Yogi yang makin menua juga.
"Kalau mengelola sawit Ayah kan tidak harus setiap hari ke kebun," tambahnya. Berbeda dengan karet, menurut Yogi, petani harus setiap hari berkegiatan di kebun baru bisa mendatangkan hasil yang diharapkan.
Realitas yang terjadi di tengah keluarganya itu, menurut Yogi, menjadi salah satu pemicu baginya untuk memiliki ketertarikan terhadap tanaman kelapa sawit. Hal tersebut berlanjut sampai Yogi duduk di bangku SLTA.
Begitu menyelesaikan jenjang pendidikan SLTA, pertama kali Yogi mendaftar dan ikut tes untuk masuk ke Universitas Jambi (Unja). "Saya dinyatakan diterima," kenangnya.
Di bagian lain, kakaknya --seorang cowok--, yang sudah terlebih dahulu berkuliah melalui program beasiswa sawit BPDPKS, menginformasikan tentang kesempatan mengikuti tes untuk ikut progeam beasiswa sawit.
"Saya putuskan juga untuk ikut tes (program beasiswa sawit)," bebernya. Kembali bernasib mujur, Yogi juga dinyatakan lulus untuk mengikuti program tersebut.
Berdasarkan masukan dari sang kakak, Yogi kemudian memutuskan untuk ikut program beasiswa sawit saja, dan melepaskan peluangnya untuk berkuliah di Unja.
"Fasiltas dan bantuannya banyak," kata Yogi, menirukan ucapan sang kakak, menyoal nilai lebih berkuliah melalui program beasiswa sawit.
Nah, saat kesempatan berkuliah gratis melalui program beasiswa sawit berhasil didapatkan, dan diyakini tidak banyak orang yang mampu meraihnya, "Tentu sayang tidak dijalani hanya bersebab persoalan yang sifatnya hanya sentlmentil," ungkapnya.
Perlu Kemauan yang Kuat
Memilih Jurusan Teknik Informatika, saat ini Yogi sudah duduk di semester V Polkam. Kalau tidak ada aral melintang, dijadwalkan Oktober mendatang Yogi akan menjalani wisuda bersama rekan-rekan seperjuangannya untuk program D3.
"Sudah lumayan," kata Yogi, saat ditanya pengetahuan dan penguasannya tentang disiplin ilmu yang menjadi pilihan hidup dan pertaruhan masa depannya.
Dikatakan Yogi, sejauh ini ia sudah tahu dan menguasai tentang tata cara bertanam sawit yang baik, tentang pemupukan, dan lainnya, yang ia nilai berbeda dengan cara bertanam sawit dan pemupukan yang sebelumnya didapat Yogi secara otodidak.
Yogi juga mengaku sudah tahu dan menguasai cara membuat biodiesel, yaitu minyak sebagai bahan bakar yang bahan bakunya dari tanaman kelapa sawit.
"Memang belum terlalu dalam," tambahnya. Tapi, dijelaskan Yogi, dengan menguasai ilmu dasar soal sawit merupakan sebuah modal dasar berharga untuk menggali dan mengembangkan ilmu perkelapasawitan secara lebih mendalam lagi.
"Kuncinya tentu kemauan yang kuat, didorong harapan yang tinggi untuk menjadikan sawit sebagai harapan dan tumpuan masa depan," kata Yogi.
Yogi memang telah sejak jauh hari menekadkan hal itu, terhitung sejak masa-masa awal menjalani perkuliahan di Polkam, yang dengan konsisten dilakoninya sampai kini. Bahkan terkadang dengan mengorbankan kegiatan lain.
Konsistensi Yogi dalam berkuliah pada akhirnya ada juga yang berbuah manis.
Pada 23 Oktober 2024, Yogi bersama para koleganya menyabet gelar juara I tingkat nasional Lomba Karya Tulis Ilmiah Vo-creation International Competition yang diikuti oleh seluruh anggota kampus Pelita (Persatuan Kampus Swasta Indonesia).
"Kami berhasil membawa Politeknik Kampar mendapatkan gelar juara 1 di tingkat nasional," kata Yogi, bangga.***






