
Ketua Umum DPP Apkasindo, Dr Gulat Manurung. foto: ist.
"Kami, para petani sawit, juga berhak atas perlindungan, sama seperti petani di Eropa."
MENGHADAPI ancaman regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang rencananya diberlakukan Uni Eropa akhir 2024 ini, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) tidak tinggal diam.
Kebijakan ini dinilai akan membawa dampak signifikan, khususnya bagi para petani sawit, yang terancam mengalami kebangkrutan massal.
Dalam langkah proaktifnya, Apkasindo mengirimkan surat resmi kepada Presiden Komisi Uni Eropa, Mrs. Ursula von der Leyen, pada 20 September 2024.
Surat ini diawali dengan ucapan selamat atas terpilihnya kembali Ursula sebagai Presiden Komisi Uni Eropa.
Surat dua halaman tersebut secara khusus meminta peninjauan ulang terhadap waktu pelaksanaan EUDR yang dianggap terlalu cepat diterapkan di tengah kondisi petani sawit saat ini.
Ketua Umum DPP Apkasindo, Dr Gulat Manurung, didampingi oleh Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo, Dr Rino Afrino, dalam pernyataannya di Jakarta pada Sabtu (5/10) menegaskan bahwa kelapa sawit telah memenuhi tiga dimensi utama keberlanjutan: ekonomi, sosial, dan lingkungan.
"Kami berkomitmen pada tiga dimensi keberlanjutan tersebut, karena itu adalah kunci utama keberlangsungan petani sawit," tegas Gulat.
Dia menambahkan, meskipun Apkasindo memahami semangat EUDR yang bertujuan melindungi lingkungan, petani sawit juga memiliki hak yang sama dengan petani di Eropa untuk mendapatkan perlindungan global.
"Kami, para petani sawit, juga berhak atas perlindungan, sama seperti petani di Eropa," tandasnya.
Surat tersebut juga mengingatkan bahwa pada awal tahun 2023, Apkasindo bersama empat organisasi petani sawit lainnya, yakni Santri Tani NU, Samade, Aspek PIR, dan Forum Mahasiswa Sawit Indonesia, telah melakukan aksi protes terhadap EUDR.
Aksi ini menegaskan bahwa kondisi petani saat ini tidak memungkinkan untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh EUDR.
Selama dua tahun terakhir, tidak ada perubahan signifikan bagi para petani sawit, bahkan mereka semakin tertekan akibat tantangan politik perdagangan internasional. Gulat mengungkapkan bahwa kekurangan sumber daya manusia (SDM), modal, dan kesulitan dalam menyediakan data spasial, menjadi kendala utama yang dihadapi petani sawit.
Apkasindo berharap agar negara-negara Uni Eropa mau berkolaborasi dalam menjaga keberlangsungan petani sawit dan keluarganya. "Kami berkomitmen mendukung pemenuhan kriteria. Tetapi mengingat luasnya kebun sawit rakyat yang mencapai 6,87 juta hektar, diperlukan waktu dan dukungan, baik dalam bentuk pendanaan maupun pengembangan SDM," paparnya.
Apkasindo menilai petani sawit Indonesia membutuhkan waktu setidaknya 5 hingga 10 tahun untuk bisa memenuhi kriteria yang diminta oleh EUDR. "Uni Eropa harus bertanggung jawab dalam memberikan perhatian serius terkait dukungan SDM dan pendanaannya," tambahnya.
Lebih lanjut, Gulat menegaskan bahwa dukungan semua pihak sangat dibutuhkan untuk menjaga sawit sebagai salah satu lokomotif ekonomi Indonesia. "Pak Prabowo sebagai Presiden terpilih telah memberikan gambaran mengenai strategi penyerapan domestik melalui implementasi biodiesel hingga B40, sebagai salah satu respons terhadap EUDR. Namun, minyak sawit juga merupakan kebutuhan global, di mana hampir 60% minyak nabati dunia berasal dari kelapa sawit," sebutnya.
Dalam penutupnya, Gulat menyatakan bahwa surat tersebut mencakup kepentingan semua pihak. "Dunia harus mengetahui kondisi sebenarnya, jangan hanya fokus pada satu dimensi keberlanjutan dan mengabaikan dua dimensi lainnya yang sama pentingnya," tutupnya.