
Sekat kanal dibangun untuk membasahi kembali perkebunan sawit di Kalimantan Barat. foto: Ist.
"Diharapkan bisa berkontribusi untuk mencapai target pengurangan emisi nasional."
YAYASAN Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menginisiasi penelitian terkait emisi karbon pada perkebunan sawit di lahan gambut. Upaya restorasi gambut melalui pembahasan kembali ternyata membawa dampak positif untuk mitigasi perubahan iklim.
“Penelitian kami menemukan, intervensi rewetting atau pembasahan kembali melalui pembangunan sekat kanal di perkebunan sawit yang ditanam di lahan gambut mengurangi emisi gas karbondioksida secara signifikan dan tidak ada efek untuk emisi metana,” ungkap peneliti utama sekaligus Senior Manager Karbon Hutan dan Iklim YKAN, Nisa Novita, dalam pernyataan resmi dikutip Senin (16/9).
Data tersebut merupakan hasil riset YKAN bersama dengan Universitas Tanjungpura, IPB University, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Stanford University, United Nation University, Oregon State University, dan The Nature Conservancy.
Hasil riset telah dipublikasikan dalam jurnal Science of The Total Environment berjudul Strong climate mitigation potential of rewetting oil palm plantations on tropical peatlands yang terbit pada 26 Agustus 2024 (https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2024.175829).
Penelitian berangkat dari kondisi selama beberapa dasawarsa di mana tempat lahan gambut tropis di Indonesia telah mengalami deforestasi dan dikonversi menjadi penggunaan lahan lainnya, terutama perkebunan kelapa sawit. Padahal lahan gambut dikenal sebagai ekosistem penyimpan karbon di dalam tanah terbesar ketimbang hutan tropis di lahan mineral ataupun mangrove.
Lahan gambut yang dikeringkan dan terdegradasi diperkirakan berkontribusi hingga 5% dari seluruh emisi gas rumah kaca (GRK) global yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Peneliti Ahli Utama Pusat pada Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, Wahyu Catur Adinugroho menyampaikan bahwa selama ini sudah dilakukan sejumlah riset tentang dampak pembasahan kembali lahan gambut yang terdegradasi.
"Namun studi untuk mengukur penurunan emisi dari aktivitas ini belum banyak dilakukan. Sehingga, intervensi pembasahan kembali dari para pihak belum dapat dikuantifikasi pada kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional (NDC)," jelasnya.
Laporan FRL Indonesia yang kedua (2022) juga belum memasukkan potensi mitigasi dari intervensi restorasi gambut ini karena terbatasnya data yang tersedia. FRL adalah Forest Reference Level atau Tingkat Rujukan yang menunjukkan kinerja dari Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan plus (REDD+).
Berangkat dari pengalaman tersebut, maka lahirlah penelitian ini yang bertujuan untuk menghitung secara akurat penurunan emisi atas upaya rewetting. “Karena itu kami melakukan penelitian ini untuk menghitung secara akurat penurunan emisi dari kegiatan pembasahan kembali lahan gambut yang terdegradasi,” kata Wahyu.
Para peneliti melakukan risetnya di tiga area berbeda, yaitu perkebunan kelapa sawit yang telah dikeringkan dan juga pada perkebunan kelapa sawit yang telah dibasahi kembali serta hutan yang tumbuh kembali setelah mengalami kerusakan atau hutan sekunder.
Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Mempawah dan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Peneliti mengukur fluks (aliran) GRK dalam bentuk gas karbondioksida dan gas metana menggunakan metode dynamic closed chamber. Termasuk mengukur suhu tanah, tinggi muka air tanah, dan parameter iklim lainnya.
“Penelitian kami menemukan upaya rewetting melalui pembangunan sekat kanal dapat mengurangi laju dekomposisi gambut sebesar 34 persen dibandingkan dengan gambut yang tidak dibasahi,” sebut Wahyu.
Ia melanjutkan, rewetting di perkebunan kelapa sawit tidak meningkatkan emisi gas metana. Studi ini tentu menjadi angin segar bagi Indonesia yang berupaya mencapai target penurunan emisi khususnya dari upaya solusi iklim alami.
Solusi iklim alam adalah serangkaian upaya mitigasi berbasis sumber daya alam yang mencakup perlindungan hutan dan lahan basah, perbaikan pengelolaan hutan, serta restorasi ekosistem hutan, gambut, dan mangrove.
Para peneliti mengestimasi, kontribusi penurunan emisi bisa mencapai 13 persen dari total potensi mitigasi solusi iklim alami.
“Memang lahan gambut yang masih utuh jauh lebih membawa climate benefit dibandingkan dengan restorasi gambut yang telah terdegradasi. Tapi upaya rewetting ini sudah terbukti bermanfaat. Sehingga diharapkan bisa berkontribusi untuk mencapai target pengurangan emisi nasional,” kata Nisa.