
Ketua POPSI, Pahala Sibuea. Foto: Istimewa
"Petani sawit berharap, pemerintah harus fokus terhadap amanat regulasi."
KETUA Persatuan Organisasi Petani Kelapa Sawit (POPSI), Pahala Sibuea, mengatakan petani sawit merasa tidak diperlakukan adil apabila Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ditambah bebannya untuk pembiayaan komoditas kelapa dan kakao.
"Pasalnya petani kelapa sawit, saat ini masih sangat susah mengakses dana BPDPKS karena beberapa aturan yang sulit dipenuhi oleh petani," kata Pahala, Sabtu (13/7).
Jadi, tambah Pahala, dana BPDPKS yang dikatakan banyak dikarenakan masih susahnya petani kelapa sawit mengakses dana tersebut.
Pahala mengaku beberapa hari ini pihaknya mendapat banyak curhatan dari petani sawit yang sangat emosi dengan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada petani sawit.
Hal ini dipicu dengan statement Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Mendag Zulkifli Hasan, setelah rapat di Istana tentang penambahan tugas BPDPKS untuk mengurusi komoditas kelapa dan kakao.
Pahala mengatakan, kontribusi petani sawit terhadap negara ini sangat besar, tidak sebanding dengan apa yang didapat atas perhatian pemerintah dalam menyelesaikan tata kelola sawit rakyat.
Besarnya kontribusi komoditi sawit terhadap APBN atas pajak (PPN TBS, Biaya Keluar Ekspor, PBB), menurut Pahala, belum membuat pemerintah perhatian terhadap jalan-jalan kebun sawit rakyat yang jauh dari layak. Bahkan subsidi pupuk pun sudah ditiadakan untuk sektor sawit, padahal penyumbang APBN cukup besar.
Menurut Pahala, petani hanya berharap tata kelola dana pungutan BPDPKS bisa diperbaiki untuk rakyat. Sebab program pembiayaan dari BPDPKS untuk PSR, Sarpras dan penguatan SDM, masih belum sepenuhnya bisa diakses oleh petani sawit.
Padahal program ini yang diharapkan untuk memperbaiki tata kelola sawit rakyat, yang selalu dibebani segudang aturan yang sulit dipenuhi oleh petani sawit, walaupun petani merasa tidak adil terhadap pengalokasian program subsidi biodiesel, DBH, dan sebagainya.
"Petani sawit berharap, pemerintah harus fokus terhadap amanat regulasi yang ada sekarang atas pembentukan BPDPKS, yaitu mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Sehingga tata kelola sawit berkelanjutan betul-betul berjalan dengan baik, dan manfaat aliran dana BPDPKS betul betul dirasakan oleh seluruh petani sawit," bebernya.
Dikatakannya, terbentuknya BPDPKS merujuk UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 pasal 93 ayat 3, tentang pembiayaan usaha perkebunan yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan yang selanjutnya diatur pada Peraturan Pemerintah. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 pasal 3 dan 5.
Penghimpunan dana ditujukan untuk mendorong pengembangan perkebunan berkelanjutan atas komoditas perkebunan strategis yaitu kelapa sawit, kelapa, karet, kopi, kakao, tebu, tembakau dan pemungutan dilakukan atas ekspor komoditas perkebunan, serta pasal 16, menyatakan pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dapat dibentuk untuk satu komoditi Perkebunan Strategis atau gabungan komoditi perkebunan strategis.
Dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan PP Nomor 24 Tahun 2015 mengamanatkan Pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) bukan BPDPKS, sedangkan BPDPKS dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 61 Tahun 2015 jo Perpres Nomor 24 Tahun 2016 jomor Perpres 66 Tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
"Jadi bila BPDPKS ditambahkan tugasnya untuk mengurusi komoditas kelapa dan kakao, merupakan pelanggaran regulasi yang ada, ini berdasarkan Perpres Nomor 61 Tahun 2015 pasa 2 ayat 1 menyatakan penghimpunan dana ditujukan untuk mendorong pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit yang berkelanjutan," tuturnya.
Apabila Perpres Nomor 61 Tahun 2015 jo. Perpres Nomor 24 Tahun 2016 jo Perpres 66 Tahun 2018 ini dirubah agar mengakomodasi komoditas lain, maka jelas Pahala, keadilan harus dilakukan demgan memungut dana dari ekspor, sesuai amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015.